TEUNGKU SAFRIADI

TEUNGKU SAFRIADI

Minggu, 17 April 2011

MEDIASI DAN PERMASALAHANNYA

MEDIASI DAN PELAKSANAANYA
oleh: SAFRIADI
A. Pengertian dan Jenis Mediasi

1. Pengertian Mediasi
Setiap perkara perdata dilatar belakangi oleh ketidakpuasan seseorang atau beberapa orang (pihak penggugat) terhadap seseorang atau beberapa orang lain (pihak tergugat), yang menurut pihak penggugat ada hak-haknya yang telah dilanggar oleh pihak tergugat, atau ada kewajiban tergugat kepada penggugat yang tidak dilaksanakan oleh tergugat.
Penggugat karena telah berkali-kali meminta haknya kepada tergugat, tidak juga berhasil kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan atau Mahkamah Syar’iyah, dengan harapan Hakim dapat mengembalikan hak penggugat atau menghukum tergugat memenuhi kewajibannya.
Kemudian Hakim dibebani kewajiban untuk dapat mendamaikan para pihak melalui jalur mediasi, dan boleh jadi para pihak menunjuk mediator yang bukan Hakim atau orang lain di luar Pengadilan. Para pakar mendevinisikan mediasi ini dengan penyelesaian sengketa melalui proses perundingan antara para pihak yang bersengketa dengan dibantu oleh mediator.
Tentang Mediasi dalam Islam dikenal dengan istilah Hakam, hal ini telah disebutkan dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 35:
وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما إن الله كان عليما خبيرا (سورة النساء:٣٥ )
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. Annisa’ Ayat:35)

Para ulama dalam menafsirkan ayat ini, meskipun ayat tersebut memberikan petunjuk dalam bentuk perintah, namun para ahli hukum Islam berbeda pendapat mengenai eksistensi hakam dalam menyelesaikan masalah perceraian. Ulama dari mazhab Syafi'iyah mengharuskan adanya hakam dalam perceraian yang muncul akibat syiqoq. Hal ini juga ditegaskan oleh Jalaluddin Sayuti dalam tafsirnya Sawi ‘Ala Jalalain, yaitu:
وأعلم أن كون الحكمين من ألاهلين عند وجودهما مندوب عند الشافعي وواجب عند مالك سسسسسسسس س Artinya: Keberadaan Adanya dua orang hakam itu disunnahkan disisi Syafi’i

...............dan diwajibkan disisi Malik

Menurut Komar Kantaatmadja, secara garis besar penyelesaian perkara dapat digolongkan dalam tiga golongan:
a. Penyelesaian perkara dengan menggunakan negosiasi yang bersifat langsung, maupun dengan pernyataan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi)
b. Penyelesaian sengketa dengan cara letigasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
c. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbritase, baik yang bersifat ad hoc maupun yang terlembaga.
Menurut Syahrizal Abbas, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya, menengahi, dan menyelesaikan sengketa antara para pihak ”berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu perselisihan sebagai penasihat. Sedangkan mediator adalah hakim atau pihak lain yang berwenang melakukan mediasi pada Mahkamah Syar’iyah.
2. Jenis Mediasi Mediasi ada 2 jenis: yaitu di dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Mediasi dari dalam pengadilan, ditangani oleh hakim pengadilan tersebut yang tidak menangani perkaranya. sedangkan mediasi di luar pengadilan, ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen. Terakhir masalah mediasi diatur oleh PERMA No. 1 Tahun 2008, yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata. Kalau tidak dilakukan proses mediasi, putusanya batal demi hukum. Jadi penyelesaian sengketa dengan proses mediasi adalah penyelesaian perkara yang dilakukan oleh pihak ketiga (mediator), tanpa melalui persidangan. Pihak ketiga dalam hal ini tidak memutuskan perkaranya. Mediator hanya berusaha mengadakan pendekatan kepada para pihak untuk meminimalkan perbedaan pendapat dalam kasus yang dihadapi untuk mencapai suatu kesepakatan diantara mereka menuju pada pemecahan yang saling menguntungkan (win win solution). Mediator hanya berperan untuk membantu para pihak mencapai penyelesaian sengketa. Untuk itu mediator dapat secara langsung dan rahasia berkomunikasi dengan para pihak dan bekerja bersama sama untuk mencapai suatu kesepakatan. Tujuan mediasi pada dasarnya agar orang yang bersengketa (yang mengajukan perkara ke Mahkamah Syar’iyah) bisa berdamai dengan hasil sama sama senang. Jadi inti dan motivasi dari mediasi adalah hasil akhir dari suatu sengketa menuju kepada sepakat untuk damai dengan tidak melanjutkan perkaranya di Mahkamah Syar’iyah. Namun untuk menuju ke arah tersebut sangat sulit dicapai oleh para pihak yang berperkara, maka perlu ada pihak ketiga yang netral (dan dihormati) membantu menyelesaikan sengketa tersebut di luar lembaga Mahkamah Syar’iyah, yaitu mediator. Terkait dengan hal tersebut, PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Pasal 2 ayat (2) yang mewajibkan setiap hakim, agar mendamaikan pihak yang berperkara sebelum melanjutkan proses persidangan, harus melalui tahap mediasi dulu, apabila tidak menempuh prosedur mediasi maka menurut PERMA ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 R.Bg, yang berakibat putusan batal demi hukum.

B....Dasar Hukum Mediasi .........Istilah mediasi Mahkamah Syar’iyah hanyalah semata-semata sebuah peristilahan untuk menerangkan proses mediasi yang perkaranya merupakan limpahan dari Mahkamah Syar’iyah. Di barat, untuk perkara seperti ini lebih dikenal dengan istilah court mandated mediation (CMM). Istilah ini dipakai karena belum ada istilah khusus untuk itu. Di Indonesia istilah yang biasa dikenal adalah mediasi. Meskipun pada prinsipnya sama dengan mediasi lainnya, untuk keperluan pemaparan, penulis penulis merasa perlu untuk menjelaskan dasar hukum dari diberlakukannya mediasi di Peradilan khususnya Mahkamah Syar’iyah, agar lebih jelas pelaksanaan mediasi ini di Mahkamah Syar’iyah.
Dasar hukum mediasi adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa berlaku 12 Agustus 1999.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1/2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 RBg.
3. PERMA No. 01 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan.
4. Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003
Berdasarkan realitas, pelaksanaan mediasi di Indonesia dilakukan oleh lembaga peradilan, khususnya Pengadilan Agama dan non peradilan, seperti lembaga-lembaga mediasi, instansi pemerintah, advokat dan lain-lainnya. Atas dasar pelaku mediasi, maka mediasi di Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu mediasi yang dilaksanakan di dalam peradilan atau yang dikenal dengan court mandated mediation dan mediasi di luar peradilan. Mediasi yang dilaksanakan di pengadilan hingga saat ini memiliki sejarah landasan yuridis, yaitu Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003. Hal ini berbeda dengan mediasi yang dilaksanakan di luar pengadilan yang aturannya kurang jelas sebagaimana yang dimuat dalam Undang-undang No. 30 tahun 1999. Untuk memahami landasan yuridis pelaksanaan upaya damai (mediasi) di Indonesia, maka penjelasannya didasarkan pada dua kategori diatas. yaitu sebagai berikut:
1. Beberapa aturan upaya damai (Mediasi) di dalam lembaga peradilan.
Dalam tinjauan sejarah peradilan di Indonesia, penyelesaian sengketa melalui upaya damai telah diatur dalam pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg. dan beberapa peraturan lainnya. Namun upaya damai yang dimaksud dalam peraturan diatas berbeda dengan mediasi sebagaimana yang berkembang sekarang. Berikut ini beberapa aturan hukum tentang upaya mediasi di Indonesia:
a.—HIR-pasal-130-(Pasal-154-RBg.-Dan-Pasal-31-Rv)
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda melalui Reglement op de burgerlijke Rechtvordering atau disingkat Rv. Pada tahun 1894 penyelesaian perkara dengan cara damai sudah diperkenalkan. Bunyi pasal diatas sebagai berikut :
[1] jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka,
[2] Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akte) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak di hukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.
[3] Keputusan yang sedemikian itu tidak dapat diijinkan disbanding.
[4] Jika pada waktu mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak, perlu dipakai seorang juru bahasa, maka peraturan pasal yang berikut dituruti untuk itu.
b. UU No. 1 tahun 1974 Pasal 39, UU No. 7 tahun 1989 Pasal 65, KHI Pasal 115, 131 (2), 143 (1-2), 144, dan PP No. 9 tahun 1975 Pasal 32
Undang-undang, peraturan Pemerintah, dan KHI sebagaimana diatas menyebutkan bahwa hakim harus mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum putusan dijatuhkan. Usaha untuk mendamaikan pihak yang bersengketa ini dilakukan pada setiap pemeriksaan. Agar upaya damai dapat terwujud, maka hakim wajib pula menghadirkan keluarga atau orang-orang terdekat dari pihak yang berperkara untuk di dengar keterangannya, sekaligus hakim meminta bantuan kepada keluarga agar mereka dapat berdamai.
c. SEMA No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 merupakan tindak lanjut hasil Rapat Kerja Nasional I Mahkamah Agung yang dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 24 sampai 27 September 2001. Surat edaran ini menekankan kembali pemberdayaan pengadilan tingkat pertama dalam menerapkan upaya damai sebagaimana ditentuan dalam pasal 130 HIR/pasal 154 RBg dan pasal-pasal lainnya dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia, khususnya pasal 132 HIR/pasal 154 RBg. Hasil Rakernas ini pada dasarnya merupakan penjabaran rekomendasi Sidang Tahunan MPR tahun 2000, agar Mahkamah Agung mengatasi tunggakan perkara. Isi SEMA No. 1 tahun 2002 ini mencakup:
1. Upaya perdamaian hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh dan optimal, tidak sekedar formalitas.
2. Melibatkan hakim yang ditunjuk dan dapat bertindak sebagai fasilitator dan atau mediator, tetapi bukan hakim majlis (namun hasil rakernas membolehkan dari hakim majlis dengan alasan kurangnya tenaga hakim di daerah dan karena lebih mengetahui permasalahan).
3. Untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator maupun mediator kepada hakim yang bersangkutan diberikan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, dan waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 6 tahun 1992.
4. Persetujuan perdamaian dibuat dalam bentuk akte perdamaian, dan para pihak dihukum untuk mentaati apa yang telah disepakati.
5. Apabila mediasi gagal, hakim yang bersangkutan harus melaporkan kepada ketua pengadilan/ketua majlis dan pemeriksaan perkara dilanjutkan oleh majlis hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak untuk berdamai selama proses pemeriksaan berlangsung.
6 Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat dijadikan bahan penilaian (reward) bagi hakim yang menjadi fasilitator / mediator.
d.-PERMA-No.2-tahun-2003
SEMA No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dipandang belum sempurna. Upaya damai atau penyelesaian sengketa melalui mediasi seharusnya diatur melalui peraturan perundang-undangan. Undang-undang yang telah ada hanya menyinggung mediasi sebagai salah satu alternative dispute resolution (ADR), yaitu UU No. 30 tahun 1999. Undang-undang ini lebih tepat dikatakan undang-undang tentang arbitrase, bukan tentang ADR, karena ketentuan ADR hanya dimuat dua pasal saja, yaitu pasal 1 butir 10 dan pasal 6 yang terdiri atas 9 ayat. Memperhatikan realitas seperti ini dan sambil menunggu adanya peraturan Perundang-undangan yang baru, Mahkamah Agung perlu menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 tahun 2003. Perma ini mengatur tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang meliputi pra mediasi, proses mediasi, tempat dan biaya mediasi. Sebanyak 18 pasal dalam PERMA ini semuanya mengatur mediasi dalam proses berperkara di pengadilan, dan tidak menyinggung mediasi di luar pengadilan, karena memang dimaksudkan untuk penerapan mediasi dalam peradilan.
2.-Mediasi-Non-Peradilan
Pada dasarnya keberadaan cara penyelesaian sengketa setua keberadaan manusia itu sendiri. Dalam proses ini manusia menyelesaikan masalahnya dengan cara yang sederhana. Salah satu cara yang ditempuhnya adalah penyelesaian sengketa dengan cara damai. Disamping ini, pada perkembangan berikutnya dikenal adanya lembaga peradilan yang memiliki tugas menyelesaikan perkara secara litigatif. Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh masyarakat tempo dulu, pada hakekatnya adalah praktek mediasi dalam pengertian yang sederhana, dimana diantara para pihak yang bersengketa terdapat pihak ketiga yang menjadi mediator. Mediator pada waktu dulu adalah sesepuh desa, tokoh masyarakat atau orang yang terpandang yang memiliki sifat adil dan bijaksana.
Secara formal, landasan yuridis mediasi non peradilan hanya didasarkan pada Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Lembaga arbitrase dalam undang-undang ini, dibahas secara lengkap dan sempurna dalam 80 pasal, sedangkan alternatif penyelesaian sengketa hanya disebut dalam 2 pasal, yaitu pasal Pasal 1 butir 10 dan pasa 6 yang terdiri atas 9 ayat. Pasal 1 butir 10 menyatakan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi,-atau-penilaian-ahli. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesian sengketa. Meskipun ia disebut secara jelas, namun pengertian mediasi dan lembaga APS lainnya tidak dijelaskan, karena menurut penjelasan undang-undang tersebut sudah dianggap jelas. UU No. 30 tahun 1999 ini lebih banyak mengatur arbitrase. Di Indonesia arbitrase bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang dianggap merupakan sumber pokok pelaksanaan arbitrase sebelum berlakunya UU No. 30 tahun 1999 adalah ketentuan yang diatur dalam pasal 337 Reglement Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941; 44) atau pasal 705 reglement acara untuk daerah luar Jawa dan Madura (Rechsreglement Buingewesten, Staatsblad 1927;227). Dengan demikian maka sejak UU No. 30 tahun 1999 diundangkan, maka ketentuan sebelumnya-dipandang-tidak-sah.
Berbeda dengan arbitrase, mediasi sebagaimana dimaksud dalam UU No. 30 tahun 1999 yang bersifat mediasi non peradilan belum ada ketentuan sebelumnya. Kehadiran lembaga-lembaga mediasi justru lahir menjelang dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 11 September 2003. Lembaga atau pusat mediasi yang lahir menjelang diterbitkannya Perma adalah The Indonesian Mediation Center (Pusat Mediasi Nasional). Lembaga ini berdiri pada 4 September 2003 yang peresmiannya dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan. Jika memperhatikan beberapa ketentuan mediasi non peradilan sebagaimana tercantum dalam UU No. 30 tahun 1999 maka prosedur mediasi ini berbeda dengan prosedur mediasi yang dilakukan oleh peradilan berdasarkan Perma No. 2 tahun 2003. Dalam bab II pasal 6 ayat 1 sampai 9 UU tersebut mengatur tentang prosedur penyelesaian sengketa oleh lembaga-lembaga APS sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 ayat 10 yang meliputi konsultasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Pasal 6 ayat 1 menerangkan bahwa Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Ayat ini memberikan penegasan bahwa tujuan APS adalah penyelesaian melalui jalur non litigasi. Jalur ini bisa ditempuh jika para pihak yang bersengketa memiliki iktikad baik untuk melakukan perdamaian. Penyelesaian melalui jalur litigasi meskipun menggunakan asas cepat dan biaya ringan, namun kenyataannya dalam penyelesaiannya membutuhkan waktu lama dan biaya banyak. Salah satu faktornya karena banyaknya perkara yang masuk di pengadilan. Disamping itu jika perkara telah didaftarkan ke pengadilan maka iktikad berkurang jika dibandingkan melalui penyelesaian non litigasi.
Ayat 2 menjelaskan bahwa Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Ayat ini menjelaskan bahwa perselisihan atau sengketa dapat diselesaikan oleh masing-masing pihak tanpa adanya keterlibatan pihak ketiga. Penyelesaian jenis ini disebut negosiasi. Dalam negosiasi para pihak sendirilah yang akan melakukan kompromi-kompromi atas masalah yang dihadapinya. Selanjutnya ayat 3 berbunyi. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Jika dalam negoisasi para pihak mangalami kegagalan, maka mereka dapat melanjutkan penyelesaian sengketanya dengan melibatkan pihak ketiga, yang disebut penasehat ahli atau mediator. Keterlibatan pihak ketiga tentulah orang yang disepakati oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Ia harus orang yang adil, tidak memihak (netral) dan memiliki skill dalam mediasi.
Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi ini diberi batas waktu paling lama 14 hari sebagaimana tertuang dalam pasal 6 ayat 4 : Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
Namun jika mengalami kegagalan dalam mediasi, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara arbitrase. Memperhatikan ayat 4 tersebut, maka arbitrase dipandang sebagai solusi setelah negosiasi dan mediasi mengalami kegagalan. Meskipun ayat ini menyebut pranata APS lain selain arbitrase, namun tidak ada pranata lain yang dipandang efektif dibanding arbitrase. Ketentuan ini diatur dalam ayat 5 sampai 9. Berdasarkan pasal-pasal diatas maka arbitrase dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari dan jika masih mengalami kegagalan maka dapat mengajukan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase ad-hoc. Pemilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ad-hoc ini meruapakan pilihan terakhir. Dengan cara ini maka sengketa diharapkan bisa selesai melalui arbiter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar