TEUNGKU SAFRIADI

TEUNGKU SAFRIADI

Rabu, 20 April 2011

realitas taklik talak di Indonesia

oleh : Safriadi
Pasal 1 huruf e Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan ta’lik talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan dalam suatu keadaan tertentu yang datang. Oleh karena itu dalam buku I KHI tentang perkawinan telah menempatkan ta’lik talak sebagai perjanjian dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk ta’lik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Adapun sighat taklik yang diucapkan suami setelah aqad nikah kepada istri yang dipraktekkan di Indonesia adalah :
Bismillah al-rahman al-rahim

Sesudah akad nikah, saya ....... bin .... berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama ... binti ....dengan baik (mu‘âsyarah bil-ma’rûf) menurut ajaran syari’at Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat ta’lik atas istri saya itu sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya :
1. Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut
2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya
4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya enam bulan lamanya.
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada pengadilan agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan istri saya membayar uang sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sebagai ’iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kemudian pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang ’iwadh itu dan kemudian menyerahkan kepada Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) pusat untuk keperluan ibadah sosial.

Dalam proses pernikahan biasanya mempelai wanita ditanya apakah mohon mempelai laki-laki mengucapkan ta’lik talak atau tidak, demikian halnya dengan mempelai laki-laki. Dan hampir dapat dipastikan keduanya setuju agar ta’lik talak dibacakan dan mempelai laki-laki membacakan sendiri ta’lik talak di hadapan istri.
Menurut penulis, isi dalam sighat tersebut adalah perjanjian perkawinan antara suami dan isteri. Dengan demikian menjadi semakin jelas bahwa ta’lik talak pada prinsipnya sama dengan perjanjian perkawinan. Artinya, ta’lik talak merupakan bagian dari perjanjian perkawinan. Dengan ungkapan lain, perjanjian perkawinan dapat dalam bentuk ta’lik talak dan dapat pula dalam bentuk lain di luar ta’lik talak. Sejalan dengan isi sighat taklik tersebut, maka ta’lik talak dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia pun masuk pada pasal perjanjian perkawinan, yang tercantum pada Bab V, pasal 29 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Demikian juga perjanjian perkawinan dicantumkan dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia (KHI), yang diatur dalam Bab VII: Perjanjian Perkawinan (pasal 45 s/d 52).
Suatu perkawinan menurut hukum positif di Indonesia yang juga diilhami dari hukum Islam pada dasarnya bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hendaknya kita sadar bahwa perkawinan bukan bertujuan hanya untuk sesaat saja. Di dalam sebuah perkawinan terkandung hak dan kewajiban masing-masing, baik itu suami maupun istri. Suami sebagai kepala keluarga mempunyai kewajiban yang tidak ringan, diantara nya ia arus menyayangi istri dan mampu memberikan nafkah lahir maupun batin. Jadi, ikrar ta’lik talak pada dasarnya memberi jaminan atas terpenuhinya kewajiban suami ini. Memang ini untuk melindungi wanita, tapi apakah harus dengan cara demikian.
Dalam hukum Islam dan hukum positif di Indonesia, ta’lik talak bukanlah merupakan kewajiban. Ini ditegaskan dalam Pasal 46 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, "Perjanjian ta’lik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali ta’lik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali." Dari bunyi Pasal tersebut jelas pihak mempelai pria sebenarnya mempunyai hak menolak membaca ta’lik talak. Ta’lik talak dibaca setelah ijab qabul.
Di sini yang harus kita cermati, bahwa setelah ijab qabul selesai dan para saksi menyatakan sah, mulai saat itu juga keduanya telah resmi menjadi suami istri dan kewajiban petugas KUA ialah mencatatnya. Ini berarti semua proses perkawinan sudah selesai dan sah menurut hukum.
Para ahli hukum berbeda dalam membahas mengenai ta’lik talak. Bagi ahli hukum Islam yang membolehkan, perbedaan di antara mereka pun muncul, yang pada dasarnya terletak pada rumusan shigat ta’lik talak yang bersangkutan yang sampai sekarang masih mewarnai perkembangan hukum Islam di Indonesia.
Dalam kaitan ini, Ibnu Hazm berpendapat bahwa dari dua macam bentuk ta’lik talak (Qasamy dan Syarthi) , keduanya tidak mempunyai akibat apa-apa. Alasannya ialah bahwa Allah telah mengatur secara jelas mengenai talak. Sedangkan ta’lik talak tidak ada tuntunannya dalam Alquran maupun sunnah. Hal senada dikemukakan pula oleh Ibnu Taimiyah bahwa Taklik Qasamy yang mengandung maksud, tidak mempunyai akibat jatuhnya talak.
Sementara itu, Jumhur ulama Mazhab berpendapat bahwa bila seseorang telah mentaklikkan talaknya yang dalam wewenangnya dan telah terpenuhi syarat-syaratnya sesuai kehendak mereka masing-masing, maka taklik itu dianggap sah untuk semua bentuk taklik, baik itu mengandung sumpah (qasamy) ataupun mengandung syarat biasa, karena orang yang menta’likkan talak itu tidak menjatuhkan talaknya pada saat orang itu mengucapkannya, akan tetapi talak itu tergantung pada terpenuhinya syarat yang dikandung dalam ucapan taklik itu.
Menurut penulis, pendapat Jumhur inilah nampaknya yang menjadi anutan pada pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Dan pada masa kemerdekaan oleh Menteri Agama merumuskannya sedemikian rupa dengan maksud agar bentuk sighat ta’lik jadi tidak secara bebas diucapkan oleh suami juga bertujuan agar terdapat keseimbangan antara hak talak yang diberikan secara mutlak kepada suami dengan perlindungan terhadap isteri dari perbuatan kesewenangan suami. Bila dicermati rumusan ta’lik talak, nampaknya telah mengalami banyak kemajuan, perubahan mana dimaksud tidak terletak pada unsur-unsur pokoknya, tetapi mengenai kualitasnya yaitu syarat ta’lik yang bersangkutan serta mengenai besarnya iwadh.
Perubahan mengenai kualitas syarat ta’lik di Indonesia, baik sebelum kemerdekaan (1940) maupun pasca kemerdekaan (1947, 1950, 1956 dan 1975) yang ditentukan Departemen Agama semakin menunjukkan kualitas yang lebih sesuai dengan asas syar’iy yakni mempersukar terjadinya perceraian dan sekaligus melindungi isteri dari kesewenangan suami.
Perubahan rumusan tersebut dapat dikemukakan misalnya pada rumusan ayat (3) sighat taklik, pada rumusan tahun 1950 disebutkan “menyakiti isteri dengan memukul”, sehingga semua pengertian dibatasi pada memukul saja, sedangkan sighat rumusan tahun 1956 tidak lagi sebatas memukul, sehingga perbuatan yang dapat dikategorikan menyakiti badan dan jasmani seperti: menendang, mendorong sampai jatuh dan sebagainya dapat dijadikan alasan perceraian, karena terpenuhi syarat taklik dari segi perlindungan pada isteri. Demikian halnya perubahan kualitas kepada yang lebih baik (mempersukar terjadinya perceraian) dapat dilihat pada rumusan ayat (4) sighat taklik tentang membiarkan isteri. Pada rumusan tahun 1950 disebutkan selama 3 bulan, sedang rumusan tahun 1956 menjadi 6 bulan lamanya. Demikian pula tentang pergi meninggalkan isteri dalam ayat (1) sighat taklik, dalam rumusan tahun 1950, 1956 dan 1969 sampai sekarang dirumuskan menjadi 2 tahun berturut-turut.
Oleh karena itu, menurut penulis sighat taklik yang ditetapkan dalam PMA No. 2 Tahun 1990 junto sesuai dengan yang dimaksudkan dalam pasal 46 ayat (2) KHI dianggap telah memadai dan relevan dengan ayat-ayat tersebut. Dengan kata lain, semua bentuk ta’lik talak di luar yang ditetapkan oleh Departemen Agama seharusnya dianggap tidak pernah terjadi.
Pelaksanaan perceraian pelanggaran ta’lik talak di Pengadilan Agama ialah para istri membuat pengaduan ke Pengdilan Agama. Pengaduan istri dapat di benarkan apabila perbuatan suami telah terbukti, hal terebut dapat dibuktikan salah satunya dengan kutipan Akta Nikah dan saksi-saksi, apakah suami pernah mengucapkan ta’lik talak dan apakah ta’lik talak suami benar-benar telah terpenuhi. Akta nikah menjadi bukti yang otentik bagi pembuktian adanya pelanggaran ta’lik talak. Dengan kutipan akta nikah tersebut dapat dibuktikan.
Bahwa penggugat benar-benar istri tergugat atau bukan yang dalam hal ini orang yang dapat dijatuhkan talak karena hanya perempuan yang berstatus istrilah yang dapat dijatuhi talak . Kutipan Akta Nikah juga dapat membuktikan apakah seorang suami mengucapkan ta’lik talak sesaat setelah akad nikah itu terjadi, karena dalam buku nikah yang diterbitkan oleh Departemen Agama terdapat halaman yang memuat keterangan bahwa suami mengucapkan ta’lik talak atau tidak yang dikuatkan dengan tanda tangan pihak suami.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ketika apa yang disyaratkan dalam ta’lik talak itu benar-benar terjadi tidak serta merta talak suami jatuh kepada istri. Talak baru jatuh kepada istri apabila istri tidak ridha dan mengajukan halnya ke Pengadilan Agama dan mendapat putusan dari pengadilan tersebut setelah melalui beberapa proses yang telah ditentukan. Proses yang dimaksud adalah perihal gugatan, pemeriksaan, pembuktian, persidangan dan putusan hakim.
Namun kemudian masalah mengucapkan shigat ta’lik talak selepas akad nikah dipersoalkan oleh Majlis Ulama Indonesia lewat keputusan MUI pada tanggal 23 Rabiul Akhir 1417 H., bertepatan dengan 7 September 1996, mengucapkan sighat ta’lik talak tidak diperlukan lagi. Adapun alasan keputusan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Bahwa materi sighat ta’lik talak pada dasarnya telah dipenuhi dan tercantum dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), perjajian ta’lik talak bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan (KHI pasal 46 ayat 3).
3. Bahwa konteks mengucapkan sighat ta’lik talak menurut sejarahnya adalah untuk melindungi hak-hak wanita, dimana waktu itu ta’lik talak belum ada dalam peraturan perundang-undangan perkawinan.
Oleh karena itu, setelah adanya aturan tentang itu dalam peraturan perundang-undangan perkawinan, maka mengucapkan sighatnya tidak diperlukan lagi.

2 komentar:

  1. minta datanya ya gan..aku ada tugas bikin makalah mengenai hal ini

    BalasHapus
  2. he,e,,...
    tapi tidak boleh plagiat ya....

    BalasHapus