TEUNGKU SAFRIADI

TEUNGKU SAFRIADI

Senin, 25 April 2011

REALITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HARTA WAKAF DALAM MASYARAKAT

OLEH; SAFRIADI,MN

Ajaran Islam memuat dua dimensi jangkauan, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Dalam bidang sosial ekonomi, Islam mendorong pendayagunaan institusi wakaf dalam rangka peningkatan kesejahteraan umat. Muhammad Musthafa Tsalabi telah membuat rumusan wakaf dalam bentuk penahanan harta atas milik orang yang berwakaf dan mendermakan manfaatnya untuk tujuan kebaikan pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
Perwakafan adalah salah satu lembaga keagamaan yang telah berakar lama dalam tradisi masyarakat umat Islam. Di Indonesia perwakafan telah menjadi penunjang utama dalam pembangunan masyarakat, khususnya Umat Islam. Hampir setiap rumah ibadah, sarana pendidikan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun di atas tanah wakaf.
Beberapa rumusan definisi yang dikemukakan oleh ulama lain juga mengacu kepada maksud dan tujuan yang sama dengan rumusan di atas. Sudut dan persepsi penekanan rumusan-rumusan tersebut adalah menyangkut filosofis pensyari’atan wakaf yang bertujuan untuk memberikan alternatif kehidupan sosial lebih baik kepada mauquf ‘alaih (penerima wakaf).
Aplikasi rumusan wakaf yang dapat diamati di tengah masyarakat bahwa pelaksanaannya kurang mengacu kepada asas manfaat sesungguhnya. Pemahaman ‘manfaat’ atas harta wakaf hanya dipahami secara parsial, sebatas manfaat yang melekat dengan harta tersebut. Konsekuensi pemahaman dimaksud mengakibatkan suatu saat harta wakaf menjadi tak berdaya guna, karena terpaku kepada manfaat yang ternyata telah hilang. Dalam realitas di dalam masyarkat, hal pokok yang menjadi permasalahan pengelolaan dan pemamfaatan harta wakaf adalah masih banyaknya wakaf tanah yang tidak dilanjuti dengan pembuatan akta ikrar wakaf. Pelaksanaan wakaf yang terjadi di Indonesia masih banyak yang dilakukan secara agamis atau mendasarkan pada rasa saling percaya. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan tanah yang diwakafkan tidak memiliki dasar hukum, sehingga apabila kemudian hari terjadi permasalahan mengenai kepemilikan tanah wakaf, penyelesaiannya mengalami kesulitan, khususnya tentang hal kepemilikan. Hal lain yang menjadi permasalahan harta wakaf di Indonesia adalah dimintanya kembali tanah wakaf oleh para ahli waris wakif dan tanah wakaf dimiliki secara turun temurun oleh oleh nazdir yang penggunaannya telah menyimpang dari akad wakaf. Fenomena yang ada sampai saat ini masih sering dijumpai di dalam masyarakat aceh adalah banyak status dan kedudukan tanah wakaf telah beralih fungsi, baik itu secara kegunaan dan mamfaat maupun dari segi hak dan kepemilikan. Misalnya tanah wakaf yang awalnya diperuntukkan untuk tanah perkarangan mesjid, dirubah fungsi dan mamfaatnya. Akibat peristiwa itu pihak keluarga wakif menarik kembali sebidang tanah wakaf yang telah diberikan buat kepentingan dan kemaslahatan umum, dan masih banyak kasus serupa yang timbul dalam masyarakat.
Hal ini merupakan gambaran awal dari kekeliruan yang terjadi di masyarakat tentang pemahaman harta wakaf dan terlalu sempitnya ruang lingkup cara pengelolaan harta yang bisa diwakafkan. Beranjak dari hal tersebut, penulis mengharapkan kepada para peneliti untuk dapat mengkaji lebih jauh tentang fenomena wakaf tersebut. Mengingat bahwa harta wakaf merupakan bagian diantara amal jariyah yang terus mengalir fahalanya kepada si wakif, juga disamping itu apabila harta wakaf dapat dikelola dengan baik bisa meningkatkan kemaslahatan bagi masyarakat.


moganya bisa bermanfaat.

Rabu, 20 April 2011

realitas taklik talak di Indonesia

oleh : Safriadi
Pasal 1 huruf e Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan ta’lik talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan dalam suatu keadaan tertentu yang datang. Oleh karena itu dalam buku I KHI tentang perkawinan telah menempatkan ta’lik talak sebagai perjanjian dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk ta’lik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Adapun sighat taklik yang diucapkan suami setelah aqad nikah kepada istri yang dipraktekkan di Indonesia adalah :
Bismillah al-rahman al-rahim

Sesudah akad nikah, saya ....... bin .... berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama ... binti ....dengan baik (mu‘âsyarah bil-ma’rûf) menurut ajaran syari’at Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat ta’lik atas istri saya itu sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya :
1. Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut
2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya
4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya enam bulan lamanya.
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada pengadilan agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan istri saya membayar uang sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sebagai ’iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kemudian pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang ’iwadh itu dan kemudian menyerahkan kepada Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) pusat untuk keperluan ibadah sosial.

Dalam proses pernikahan biasanya mempelai wanita ditanya apakah mohon mempelai laki-laki mengucapkan ta’lik talak atau tidak, demikian halnya dengan mempelai laki-laki. Dan hampir dapat dipastikan keduanya setuju agar ta’lik talak dibacakan dan mempelai laki-laki membacakan sendiri ta’lik talak di hadapan istri.
Menurut penulis, isi dalam sighat tersebut adalah perjanjian perkawinan antara suami dan isteri. Dengan demikian menjadi semakin jelas bahwa ta’lik talak pada prinsipnya sama dengan perjanjian perkawinan. Artinya, ta’lik talak merupakan bagian dari perjanjian perkawinan. Dengan ungkapan lain, perjanjian perkawinan dapat dalam bentuk ta’lik talak dan dapat pula dalam bentuk lain di luar ta’lik talak. Sejalan dengan isi sighat taklik tersebut, maka ta’lik talak dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia pun masuk pada pasal perjanjian perkawinan, yang tercantum pada Bab V, pasal 29 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Demikian juga perjanjian perkawinan dicantumkan dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia (KHI), yang diatur dalam Bab VII: Perjanjian Perkawinan (pasal 45 s/d 52).
Suatu perkawinan menurut hukum positif di Indonesia yang juga diilhami dari hukum Islam pada dasarnya bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hendaknya kita sadar bahwa perkawinan bukan bertujuan hanya untuk sesaat saja. Di dalam sebuah perkawinan terkandung hak dan kewajiban masing-masing, baik itu suami maupun istri. Suami sebagai kepala keluarga mempunyai kewajiban yang tidak ringan, diantara nya ia arus menyayangi istri dan mampu memberikan nafkah lahir maupun batin. Jadi, ikrar ta’lik talak pada dasarnya memberi jaminan atas terpenuhinya kewajiban suami ini. Memang ini untuk melindungi wanita, tapi apakah harus dengan cara demikian.
Dalam hukum Islam dan hukum positif di Indonesia, ta’lik talak bukanlah merupakan kewajiban. Ini ditegaskan dalam Pasal 46 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, "Perjanjian ta’lik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali ta’lik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali." Dari bunyi Pasal tersebut jelas pihak mempelai pria sebenarnya mempunyai hak menolak membaca ta’lik talak. Ta’lik talak dibaca setelah ijab qabul.
Di sini yang harus kita cermati, bahwa setelah ijab qabul selesai dan para saksi menyatakan sah, mulai saat itu juga keduanya telah resmi menjadi suami istri dan kewajiban petugas KUA ialah mencatatnya. Ini berarti semua proses perkawinan sudah selesai dan sah menurut hukum.
Para ahli hukum berbeda dalam membahas mengenai ta’lik talak. Bagi ahli hukum Islam yang membolehkan, perbedaan di antara mereka pun muncul, yang pada dasarnya terletak pada rumusan shigat ta’lik talak yang bersangkutan yang sampai sekarang masih mewarnai perkembangan hukum Islam di Indonesia.
Dalam kaitan ini, Ibnu Hazm berpendapat bahwa dari dua macam bentuk ta’lik talak (Qasamy dan Syarthi) , keduanya tidak mempunyai akibat apa-apa. Alasannya ialah bahwa Allah telah mengatur secara jelas mengenai talak. Sedangkan ta’lik talak tidak ada tuntunannya dalam Alquran maupun sunnah. Hal senada dikemukakan pula oleh Ibnu Taimiyah bahwa Taklik Qasamy yang mengandung maksud, tidak mempunyai akibat jatuhnya talak.
Sementara itu, Jumhur ulama Mazhab berpendapat bahwa bila seseorang telah mentaklikkan talaknya yang dalam wewenangnya dan telah terpenuhi syarat-syaratnya sesuai kehendak mereka masing-masing, maka taklik itu dianggap sah untuk semua bentuk taklik, baik itu mengandung sumpah (qasamy) ataupun mengandung syarat biasa, karena orang yang menta’likkan talak itu tidak menjatuhkan talaknya pada saat orang itu mengucapkannya, akan tetapi talak itu tergantung pada terpenuhinya syarat yang dikandung dalam ucapan taklik itu.
Menurut penulis, pendapat Jumhur inilah nampaknya yang menjadi anutan pada pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Dan pada masa kemerdekaan oleh Menteri Agama merumuskannya sedemikian rupa dengan maksud agar bentuk sighat ta’lik jadi tidak secara bebas diucapkan oleh suami juga bertujuan agar terdapat keseimbangan antara hak talak yang diberikan secara mutlak kepada suami dengan perlindungan terhadap isteri dari perbuatan kesewenangan suami. Bila dicermati rumusan ta’lik talak, nampaknya telah mengalami banyak kemajuan, perubahan mana dimaksud tidak terletak pada unsur-unsur pokoknya, tetapi mengenai kualitasnya yaitu syarat ta’lik yang bersangkutan serta mengenai besarnya iwadh.
Perubahan mengenai kualitas syarat ta’lik di Indonesia, baik sebelum kemerdekaan (1940) maupun pasca kemerdekaan (1947, 1950, 1956 dan 1975) yang ditentukan Departemen Agama semakin menunjukkan kualitas yang lebih sesuai dengan asas syar’iy yakni mempersukar terjadinya perceraian dan sekaligus melindungi isteri dari kesewenangan suami.
Perubahan rumusan tersebut dapat dikemukakan misalnya pada rumusan ayat (3) sighat taklik, pada rumusan tahun 1950 disebutkan “menyakiti isteri dengan memukul”, sehingga semua pengertian dibatasi pada memukul saja, sedangkan sighat rumusan tahun 1956 tidak lagi sebatas memukul, sehingga perbuatan yang dapat dikategorikan menyakiti badan dan jasmani seperti: menendang, mendorong sampai jatuh dan sebagainya dapat dijadikan alasan perceraian, karena terpenuhi syarat taklik dari segi perlindungan pada isteri. Demikian halnya perubahan kualitas kepada yang lebih baik (mempersukar terjadinya perceraian) dapat dilihat pada rumusan ayat (4) sighat taklik tentang membiarkan isteri. Pada rumusan tahun 1950 disebutkan selama 3 bulan, sedang rumusan tahun 1956 menjadi 6 bulan lamanya. Demikian pula tentang pergi meninggalkan isteri dalam ayat (1) sighat taklik, dalam rumusan tahun 1950, 1956 dan 1969 sampai sekarang dirumuskan menjadi 2 tahun berturut-turut.
Oleh karena itu, menurut penulis sighat taklik yang ditetapkan dalam PMA No. 2 Tahun 1990 junto sesuai dengan yang dimaksudkan dalam pasal 46 ayat (2) KHI dianggap telah memadai dan relevan dengan ayat-ayat tersebut. Dengan kata lain, semua bentuk ta’lik talak di luar yang ditetapkan oleh Departemen Agama seharusnya dianggap tidak pernah terjadi.
Pelaksanaan perceraian pelanggaran ta’lik talak di Pengadilan Agama ialah para istri membuat pengaduan ke Pengdilan Agama. Pengaduan istri dapat di benarkan apabila perbuatan suami telah terbukti, hal terebut dapat dibuktikan salah satunya dengan kutipan Akta Nikah dan saksi-saksi, apakah suami pernah mengucapkan ta’lik talak dan apakah ta’lik talak suami benar-benar telah terpenuhi. Akta nikah menjadi bukti yang otentik bagi pembuktian adanya pelanggaran ta’lik talak. Dengan kutipan akta nikah tersebut dapat dibuktikan.
Bahwa penggugat benar-benar istri tergugat atau bukan yang dalam hal ini orang yang dapat dijatuhkan talak karena hanya perempuan yang berstatus istrilah yang dapat dijatuhi talak . Kutipan Akta Nikah juga dapat membuktikan apakah seorang suami mengucapkan ta’lik talak sesaat setelah akad nikah itu terjadi, karena dalam buku nikah yang diterbitkan oleh Departemen Agama terdapat halaman yang memuat keterangan bahwa suami mengucapkan ta’lik talak atau tidak yang dikuatkan dengan tanda tangan pihak suami.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ketika apa yang disyaratkan dalam ta’lik talak itu benar-benar terjadi tidak serta merta talak suami jatuh kepada istri. Talak baru jatuh kepada istri apabila istri tidak ridha dan mengajukan halnya ke Pengadilan Agama dan mendapat putusan dari pengadilan tersebut setelah melalui beberapa proses yang telah ditentukan. Proses yang dimaksud adalah perihal gugatan, pemeriksaan, pembuktian, persidangan dan putusan hakim.
Namun kemudian masalah mengucapkan shigat ta’lik talak selepas akad nikah dipersoalkan oleh Majlis Ulama Indonesia lewat keputusan MUI pada tanggal 23 Rabiul Akhir 1417 H., bertepatan dengan 7 September 1996, mengucapkan sighat ta’lik talak tidak diperlukan lagi. Adapun alasan keputusan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Bahwa materi sighat ta’lik talak pada dasarnya telah dipenuhi dan tercantum dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), perjajian ta’lik talak bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan (KHI pasal 46 ayat 3).
3. Bahwa konteks mengucapkan sighat ta’lik talak menurut sejarahnya adalah untuk melindungi hak-hak wanita, dimana waktu itu ta’lik talak belum ada dalam peraturan perundang-undangan perkawinan.
Oleh karena itu, setelah adanya aturan tentang itu dalam peraturan perundang-undangan perkawinan, maka mengucapkan sighatnya tidak diperlukan lagi.

Minggu, 17 April 2011

MEDIASI DAN PERMASALAHANNYA

MEDIASI DAN PELAKSANAANYA
oleh: SAFRIADI
A. Pengertian dan Jenis Mediasi

1. Pengertian Mediasi
Setiap perkara perdata dilatar belakangi oleh ketidakpuasan seseorang atau beberapa orang (pihak penggugat) terhadap seseorang atau beberapa orang lain (pihak tergugat), yang menurut pihak penggugat ada hak-haknya yang telah dilanggar oleh pihak tergugat, atau ada kewajiban tergugat kepada penggugat yang tidak dilaksanakan oleh tergugat.
Penggugat karena telah berkali-kali meminta haknya kepada tergugat, tidak juga berhasil kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan atau Mahkamah Syar’iyah, dengan harapan Hakim dapat mengembalikan hak penggugat atau menghukum tergugat memenuhi kewajibannya.
Kemudian Hakim dibebani kewajiban untuk dapat mendamaikan para pihak melalui jalur mediasi, dan boleh jadi para pihak menunjuk mediator yang bukan Hakim atau orang lain di luar Pengadilan. Para pakar mendevinisikan mediasi ini dengan penyelesaian sengketa melalui proses perundingan antara para pihak yang bersengketa dengan dibantu oleh mediator.
Tentang Mediasi dalam Islam dikenal dengan istilah Hakam, hal ini telah disebutkan dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 35:
وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما إن الله كان عليما خبيرا (سورة النساء:٣٥ )
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. Annisa’ Ayat:35)

Para ulama dalam menafsirkan ayat ini, meskipun ayat tersebut memberikan petunjuk dalam bentuk perintah, namun para ahli hukum Islam berbeda pendapat mengenai eksistensi hakam dalam menyelesaikan masalah perceraian. Ulama dari mazhab Syafi'iyah mengharuskan adanya hakam dalam perceraian yang muncul akibat syiqoq. Hal ini juga ditegaskan oleh Jalaluddin Sayuti dalam tafsirnya Sawi ‘Ala Jalalain, yaitu:
وأعلم أن كون الحكمين من ألاهلين عند وجودهما مندوب عند الشافعي وواجب عند مالك سسسسسسسس س Artinya: Keberadaan Adanya dua orang hakam itu disunnahkan disisi Syafi’i

...............dan diwajibkan disisi Malik

Menurut Komar Kantaatmadja, secara garis besar penyelesaian perkara dapat digolongkan dalam tiga golongan:
a. Penyelesaian perkara dengan menggunakan negosiasi yang bersifat langsung, maupun dengan pernyataan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi)
b. Penyelesaian sengketa dengan cara letigasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
c. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbritase, baik yang bersifat ad hoc maupun yang terlembaga.
Menurut Syahrizal Abbas, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya, menengahi, dan menyelesaikan sengketa antara para pihak ”berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu perselisihan sebagai penasihat. Sedangkan mediator adalah hakim atau pihak lain yang berwenang melakukan mediasi pada Mahkamah Syar’iyah.
2. Jenis Mediasi Mediasi ada 2 jenis: yaitu di dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Mediasi dari dalam pengadilan, ditangani oleh hakim pengadilan tersebut yang tidak menangani perkaranya. sedangkan mediasi di luar pengadilan, ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen. Terakhir masalah mediasi diatur oleh PERMA No. 1 Tahun 2008, yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata. Kalau tidak dilakukan proses mediasi, putusanya batal demi hukum. Jadi penyelesaian sengketa dengan proses mediasi adalah penyelesaian perkara yang dilakukan oleh pihak ketiga (mediator), tanpa melalui persidangan. Pihak ketiga dalam hal ini tidak memutuskan perkaranya. Mediator hanya berusaha mengadakan pendekatan kepada para pihak untuk meminimalkan perbedaan pendapat dalam kasus yang dihadapi untuk mencapai suatu kesepakatan diantara mereka menuju pada pemecahan yang saling menguntungkan (win win solution). Mediator hanya berperan untuk membantu para pihak mencapai penyelesaian sengketa. Untuk itu mediator dapat secara langsung dan rahasia berkomunikasi dengan para pihak dan bekerja bersama sama untuk mencapai suatu kesepakatan. Tujuan mediasi pada dasarnya agar orang yang bersengketa (yang mengajukan perkara ke Mahkamah Syar’iyah) bisa berdamai dengan hasil sama sama senang. Jadi inti dan motivasi dari mediasi adalah hasil akhir dari suatu sengketa menuju kepada sepakat untuk damai dengan tidak melanjutkan perkaranya di Mahkamah Syar’iyah. Namun untuk menuju ke arah tersebut sangat sulit dicapai oleh para pihak yang berperkara, maka perlu ada pihak ketiga yang netral (dan dihormati) membantu menyelesaikan sengketa tersebut di luar lembaga Mahkamah Syar’iyah, yaitu mediator. Terkait dengan hal tersebut, PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Pasal 2 ayat (2) yang mewajibkan setiap hakim, agar mendamaikan pihak yang berperkara sebelum melanjutkan proses persidangan, harus melalui tahap mediasi dulu, apabila tidak menempuh prosedur mediasi maka menurut PERMA ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 R.Bg, yang berakibat putusan batal demi hukum.

B....Dasar Hukum Mediasi .........Istilah mediasi Mahkamah Syar’iyah hanyalah semata-semata sebuah peristilahan untuk menerangkan proses mediasi yang perkaranya merupakan limpahan dari Mahkamah Syar’iyah. Di barat, untuk perkara seperti ini lebih dikenal dengan istilah court mandated mediation (CMM). Istilah ini dipakai karena belum ada istilah khusus untuk itu. Di Indonesia istilah yang biasa dikenal adalah mediasi. Meskipun pada prinsipnya sama dengan mediasi lainnya, untuk keperluan pemaparan, penulis penulis merasa perlu untuk menjelaskan dasar hukum dari diberlakukannya mediasi di Peradilan khususnya Mahkamah Syar’iyah, agar lebih jelas pelaksanaan mediasi ini di Mahkamah Syar’iyah.
Dasar hukum mediasi adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa berlaku 12 Agustus 1999.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1/2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 RBg.
3. PERMA No. 01 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan.
4. Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003
Berdasarkan realitas, pelaksanaan mediasi di Indonesia dilakukan oleh lembaga peradilan, khususnya Pengadilan Agama dan non peradilan, seperti lembaga-lembaga mediasi, instansi pemerintah, advokat dan lain-lainnya. Atas dasar pelaku mediasi, maka mediasi di Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu mediasi yang dilaksanakan di dalam peradilan atau yang dikenal dengan court mandated mediation dan mediasi di luar peradilan. Mediasi yang dilaksanakan di pengadilan hingga saat ini memiliki sejarah landasan yuridis, yaitu Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003. Hal ini berbeda dengan mediasi yang dilaksanakan di luar pengadilan yang aturannya kurang jelas sebagaimana yang dimuat dalam Undang-undang No. 30 tahun 1999. Untuk memahami landasan yuridis pelaksanaan upaya damai (mediasi) di Indonesia, maka penjelasannya didasarkan pada dua kategori diatas. yaitu sebagai berikut:
1. Beberapa aturan upaya damai (Mediasi) di dalam lembaga peradilan.
Dalam tinjauan sejarah peradilan di Indonesia, penyelesaian sengketa melalui upaya damai telah diatur dalam pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg. dan beberapa peraturan lainnya. Namun upaya damai yang dimaksud dalam peraturan diatas berbeda dengan mediasi sebagaimana yang berkembang sekarang. Berikut ini beberapa aturan hukum tentang upaya mediasi di Indonesia:
a.—HIR-pasal-130-(Pasal-154-RBg.-Dan-Pasal-31-Rv)
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda melalui Reglement op de burgerlijke Rechtvordering atau disingkat Rv. Pada tahun 1894 penyelesaian perkara dengan cara damai sudah diperkenalkan. Bunyi pasal diatas sebagai berikut :
[1] jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka,
[2] Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akte) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak di hukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.
[3] Keputusan yang sedemikian itu tidak dapat diijinkan disbanding.
[4] Jika pada waktu mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak, perlu dipakai seorang juru bahasa, maka peraturan pasal yang berikut dituruti untuk itu.
b. UU No. 1 tahun 1974 Pasal 39, UU No. 7 tahun 1989 Pasal 65, KHI Pasal 115, 131 (2), 143 (1-2), 144, dan PP No. 9 tahun 1975 Pasal 32
Undang-undang, peraturan Pemerintah, dan KHI sebagaimana diatas menyebutkan bahwa hakim harus mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum putusan dijatuhkan. Usaha untuk mendamaikan pihak yang bersengketa ini dilakukan pada setiap pemeriksaan. Agar upaya damai dapat terwujud, maka hakim wajib pula menghadirkan keluarga atau orang-orang terdekat dari pihak yang berperkara untuk di dengar keterangannya, sekaligus hakim meminta bantuan kepada keluarga agar mereka dapat berdamai.
c. SEMA No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 merupakan tindak lanjut hasil Rapat Kerja Nasional I Mahkamah Agung yang dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 24 sampai 27 September 2001. Surat edaran ini menekankan kembali pemberdayaan pengadilan tingkat pertama dalam menerapkan upaya damai sebagaimana ditentuan dalam pasal 130 HIR/pasal 154 RBg dan pasal-pasal lainnya dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia, khususnya pasal 132 HIR/pasal 154 RBg. Hasil Rakernas ini pada dasarnya merupakan penjabaran rekomendasi Sidang Tahunan MPR tahun 2000, agar Mahkamah Agung mengatasi tunggakan perkara. Isi SEMA No. 1 tahun 2002 ini mencakup:
1. Upaya perdamaian hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh dan optimal, tidak sekedar formalitas.
2. Melibatkan hakim yang ditunjuk dan dapat bertindak sebagai fasilitator dan atau mediator, tetapi bukan hakim majlis (namun hasil rakernas membolehkan dari hakim majlis dengan alasan kurangnya tenaga hakim di daerah dan karena lebih mengetahui permasalahan).
3. Untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator maupun mediator kepada hakim yang bersangkutan diberikan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, dan waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 6 tahun 1992.
4. Persetujuan perdamaian dibuat dalam bentuk akte perdamaian, dan para pihak dihukum untuk mentaati apa yang telah disepakati.
5. Apabila mediasi gagal, hakim yang bersangkutan harus melaporkan kepada ketua pengadilan/ketua majlis dan pemeriksaan perkara dilanjutkan oleh majlis hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak untuk berdamai selama proses pemeriksaan berlangsung.
6 Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat dijadikan bahan penilaian (reward) bagi hakim yang menjadi fasilitator / mediator.
d.-PERMA-No.2-tahun-2003
SEMA No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dipandang belum sempurna. Upaya damai atau penyelesaian sengketa melalui mediasi seharusnya diatur melalui peraturan perundang-undangan. Undang-undang yang telah ada hanya menyinggung mediasi sebagai salah satu alternative dispute resolution (ADR), yaitu UU No. 30 tahun 1999. Undang-undang ini lebih tepat dikatakan undang-undang tentang arbitrase, bukan tentang ADR, karena ketentuan ADR hanya dimuat dua pasal saja, yaitu pasal 1 butir 10 dan pasal 6 yang terdiri atas 9 ayat. Memperhatikan realitas seperti ini dan sambil menunggu adanya peraturan Perundang-undangan yang baru, Mahkamah Agung perlu menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 tahun 2003. Perma ini mengatur tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang meliputi pra mediasi, proses mediasi, tempat dan biaya mediasi. Sebanyak 18 pasal dalam PERMA ini semuanya mengatur mediasi dalam proses berperkara di pengadilan, dan tidak menyinggung mediasi di luar pengadilan, karena memang dimaksudkan untuk penerapan mediasi dalam peradilan.
2.-Mediasi-Non-Peradilan
Pada dasarnya keberadaan cara penyelesaian sengketa setua keberadaan manusia itu sendiri. Dalam proses ini manusia menyelesaikan masalahnya dengan cara yang sederhana. Salah satu cara yang ditempuhnya adalah penyelesaian sengketa dengan cara damai. Disamping ini, pada perkembangan berikutnya dikenal adanya lembaga peradilan yang memiliki tugas menyelesaikan perkara secara litigatif. Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh masyarakat tempo dulu, pada hakekatnya adalah praktek mediasi dalam pengertian yang sederhana, dimana diantara para pihak yang bersengketa terdapat pihak ketiga yang menjadi mediator. Mediator pada waktu dulu adalah sesepuh desa, tokoh masyarakat atau orang yang terpandang yang memiliki sifat adil dan bijaksana.
Secara formal, landasan yuridis mediasi non peradilan hanya didasarkan pada Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Lembaga arbitrase dalam undang-undang ini, dibahas secara lengkap dan sempurna dalam 80 pasal, sedangkan alternatif penyelesaian sengketa hanya disebut dalam 2 pasal, yaitu pasal Pasal 1 butir 10 dan pasa 6 yang terdiri atas 9 ayat. Pasal 1 butir 10 menyatakan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi,-atau-penilaian-ahli. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesian sengketa. Meskipun ia disebut secara jelas, namun pengertian mediasi dan lembaga APS lainnya tidak dijelaskan, karena menurut penjelasan undang-undang tersebut sudah dianggap jelas. UU No. 30 tahun 1999 ini lebih banyak mengatur arbitrase. Di Indonesia arbitrase bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang dianggap merupakan sumber pokok pelaksanaan arbitrase sebelum berlakunya UU No. 30 tahun 1999 adalah ketentuan yang diatur dalam pasal 337 Reglement Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941; 44) atau pasal 705 reglement acara untuk daerah luar Jawa dan Madura (Rechsreglement Buingewesten, Staatsblad 1927;227). Dengan demikian maka sejak UU No. 30 tahun 1999 diundangkan, maka ketentuan sebelumnya-dipandang-tidak-sah.
Berbeda dengan arbitrase, mediasi sebagaimana dimaksud dalam UU No. 30 tahun 1999 yang bersifat mediasi non peradilan belum ada ketentuan sebelumnya. Kehadiran lembaga-lembaga mediasi justru lahir menjelang dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 11 September 2003. Lembaga atau pusat mediasi yang lahir menjelang diterbitkannya Perma adalah The Indonesian Mediation Center (Pusat Mediasi Nasional). Lembaga ini berdiri pada 4 September 2003 yang peresmiannya dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan. Jika memperhatikan beberapa ketentuan mediasi non peradilan sebagaimana tercantum dalam UU No. 30 tahun 1999 maka prosedur mediasi ini berbeda dengan prosedur mediasi yang dilakukan oleh peradilan berdasarkan Perma No. 2 tahun 2003. Dalam bab II pasal 6 ayat 1 sampai 9 UU tersebut mengatur tentang prosedur penyelesaian sengketa oleh lembaga-lembaga APS sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 ayat 10 yang meliputi konsultasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Pasal 6 ayat 1 menerangkan bahwa Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Ayat ini memberikan penegasan bahwa tujuan APS adalah penyelesaian melalui jalur non litigasi. Jalur ini bisa ditempuh jika para pihak yang bersengketa memiliki iktikad baik untuk melakukan perdamaian. Penyelesaian melalui jalur litigasi meskipun menggunakan asas cepat dan biaya ringan, namun kenyataannya dalam penyelesaiannya membutuhkan waktu lama dan biaya banyak. Salah satu faktornya karena banyaknya perkara yang masuk di pengadilan. Disamping itu jika perkara telah didaftarkan ke pengadilan maka iktikad berkurang jika dibandingkan melalui penyelesaian non litigasi.
Ayat 2 menjelaskan bahwa Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Ayat ini menjelaskan bahwa perselisihan atau sengketa dapat diselesaikan oleh masing-masing pihak tanpa adanya keterlibatan pihak ketiga. Penyelesaian jenis ini disebut negosiasi. Dalam negosiasi para pihak sendirilah yang akan melakukan kompromi-kompromi atas masalah yang dihadapinya. Selanjutnya ayat 3 berbunyi. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Jika dalam negoisasi para pihak mangalami kegagalan, maka mereka dapat melanjutkan penyelesaian sengketanya dengan melibatkan pihak ketiga, yang disebut penasehat ahli atau mediator. Keterlibatan pihak ketiga tentulah orang yang disepakati oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Ia harus orang yang adil, tidak memihak (netral) dan memiliki skill dalam mediasi.
Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi ini diberi batas waktu paling lama 14 hari sebagaimana tertuang dalam pasal 6 ayat 4 : Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
Namun jika mengalami kegagalan dalam mediasi, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara arbitrase. Memperhatikan ayat 4 tersebut, maka arbitrase dipandang sebagai solusi setelah negosiasi dan mediasi mengalami kegagalan. Meskipun ayat ini menyebut pranata APS lain selain arbitrase, namun tidak ada pranata lain yang dipandang efektif dibanding arbitrase. Ketentuan ini diatur dalam ayat 5 sampai 9. Berdasarkan pasal-pasal diatas maka arbitrase dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari dan jika masih mengalami kegagalan maka dapat mengajukan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase ad-hoc. Pemilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ad-hoc ini meruapakan pilihan terakhir. Dengan cara ini maka sengketa diharapkan bisa selesai melalui arbiter.

sekitar hukum nikah muhallil

oleh :Safriadi Muhammad Nurdin Murrah

Dalam masyarakat sudah menjadi tradisi dan bahkan adat oleh praktek Nikah Muhalllil yang dalam bahasa Aceh disebut peucina buta. Dalam anggapan masyarakat peucina buta adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan untuk membolehkan istri seseorang yang telah ditalak tiga (Bain Kubra) untuk nikah lagi dengan istri yang pertama.
Tentang hal ini, Allah menyatakan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah Ayat 230 yang bunyinya:
فان طلقها فلا تحل له من بعد حتي تنكح زوجا غيره فان طلقها فلا جنح عليهما ان يترجعا ان ظنا ان يقيما حدودالله و تلك حدودالله يبينها لقوم يعلمون
Penulis dalam tulisan ini ingin menguraikan hokum-hukum yang terkandung dalam ayat yang tersebut diatas dengan menukil tafsir-tafsir yang mu’tabar dari ayat diatas dan menukil isi-isi dari kitab kuning yang membahas tentang nikah muhallil. Dan penulis tidak mengambil kesimpulan dari bagaimana hokum dari nikah muhallil tersebut……
1. Tersebut dalam kitab tafsir bughawi tentang penafsiran ayat diatas, yaitu:
وقال مجاهد: معناه إن علما أن نكاحهما على غير الدُّلْسَة، وأراد بالدلسة التحليل، وهو مذهب سفيان الثوري والأوزاعي ومالك وأحمد وإسحاق، قالوا: إذا تزوجت المطلقة ثلاثا زوجا آخر ليحللها للزوج الأول: فإن النكاح فاسد، وذهب جماعة إلى أنه إن لم يشرط في النكاح
2. أخبرنا أبو الفرج المظفر بن إسماعيل التميمي أخبرنا أبو القاسم حمزة بن يوسف السهمي أنا أبو أحمد عبد الله بن عدي الحافظ أنا الحسن بن الفرج أخبرنا عمرو بن خالد الحراني عن عبيد الله بن عبد الكريم هو الجزري عن أبي واصل عن ابن مسعود رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه: "لعن المحلل والمحلل له" (1) وقال نافع أتى رجل ابن عمر فقال له: إن رجلا طلق امرأته ثلاثا، فانطلق أخ له من غير مؤامرة فتزوجها ليحلها للأول فقال: لا إلا نكاح رغبة، كنا نعد هذا سفاحا على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم، "لعن الله المحلل والمحلل له"
Tafsir bughawi hal 272-273

المؤلف : محيي السنة ، أبو محمد الحسين بن مسعود البغوي [ المتوفى 516 هـ ]
المحقق : حققه وخرج أحاديثه محمد عبد الله النمر - عثمان جمعة ضميرية - سليمان مسلم الحرش
الناشر : دار طيبة للنشر والتوزيع
الطبعة : الرابعة ، 1417 هـ - 1997 م
عدد الأجزاء : 8
مصدر الكتاب : موقع مجمع الملك فهد لطباعة المصحف الشريف
[ ترقيم الكتاب موافق للمطبوع ، والصفحات مذيلة بحواشي المحققين ]

2. dalam kitab tafsir Bahrul Muhit disebutkan:
وفي قوله : { حتى تنكح زوجاً غيره } دلالة على أن نكاح المحلل جائز ، إذ لم يعني الحل إلاّ بنكاح زوج ، وهذا يصدق عليه أنه نكاح زوج فهو جائز . وإلى هذا ذهب ابن أبي ليلى ، وأبو حنيفة ، وأبو يوسف ، ومحمد ، وداود ، وهو قول الأوزاعي في رواية ، والثوري في رواية . وقول الشافعي في كتابه ( الجديد المصري ) إذا لم يشترط التحليل في حين العقد ، وقال القاسم ، وسالم ، وربيعة ، ويحيى بن سعد : لا بأس أن يتزوجها ليحللها إذا لم يعلم الزوجان ، وهو مأجور ، وقال مالك : والثوري ، والأوزاعي ، والشافعي في القديم ، وأبو حنيفة في رواية : لا يجوز ، ولا تحل للأول ، ولا يقر عليه وسواء علماً أم لم يعلما . وعن الثوري أنه لو شرط بطل الشرط ، وجاز النكاح ، وهو قول ابن أبي ليلى في ذلك وفي نكاح المتعة . وقال الحسن ، وابراهيم : إذا علم أحد الثلاثة بالتحليل فسد النكاح .(hal 407)
Tafsir bahrul muhit
المؤلف : أبو حيان محمد بن يوسف بن علي بن يوسف بن حيّان
مصدر الكتاب : موقع التفاسير

3. tersebut dalam tafsir khazen, yaitu:
واختلف العلماء في اشتراط الوطء هل ثبت بالكتاب أو بالسنة؟ على ثلاثة أقوال : الثالث وهو المختار أنه ثبت بهما ( الثاني ) إذا تزوج بالمطلقة ثلاثة ليحلها للأول فهذا نكاح باطل وعقد فاسد وبه قال : مالك وأحمد لما روي عن ابن مسعود عن النبي ??? ???? ???? ???? : « أنه لعن المحلل والمحلل له » أخرجه الترمذي وقال حديث حسن صحيح وروي أنه قال هو التيس المستعار ولو تزوجها ولم يشترط في النكاح أنه يفارقها فالنكاح صحيح ويحصل به التحليل إذا طلقها وانقضت العدة غير أنه يكره إذا كان في عزمها ذلك ، وبه قال الشافعي وأبو حنيفة ، ودليل ذلك أن الآية دلت على أن الحرمة تنتهي بوطء مسبوق بعقد وقد وجد ذلك فوجب القول بانتهاء الحرمة ، وقال نافع : « أتى رجل إلى ابن عمر فقال : إن رجلاً طلق امرأته ثلاثاً فانطلق أخ له من غير مؤامرة فتزوجها ليحلها للأول فقال : لا إلاّ نكاح رغبة ، كنا نعد هذا سفاحاً على عهد رسول الله ??? ???? ???? ???? » وقوله تعالى : { وتلك حدود الله يبينها لقوم يعلمون } يعني يعلمون ما أمرهم به ونهاهم عنه ، وإنما خص العلماء لأنهم هم الذين ينتفعون بذلك البيان .
Tafsir khazen hal 236
المؤلف : الخازن ، أبو الحسن علي بن محمد بن إبراهيم بن عمر الشيحي
مصدر الكتاب : موقع التفاسير

4 Tersebut dalam Syarkawi ‘ala tahrir karangan Zakaria Al-Ansari,hal:245, yaitu:
انكحة المكروهة كنكاح المحلل بان يتزوجها على ان يحللها لزوجها الاول بعد طلاقها بشرطه بان تخلو عن بقيت الموانع كالعدة هذا ان عزم ولم يشرطه

masalah zakat fitrah dalam bingkai mazhab yang empat

oleh: Safriadi




مسألة زكاة الفطر بين المذاهب
مؤألف تعكو سفر ياد ى


صدقة الفطر واجبة على كل حر مسلم قادر أمرنا بها النبي صلى الله عليه و سلم في السنة التي فرض فيها رمضان قبل الزكاة وقد كان صلى الله عليه و سلم يخطب قبل يوم الفطر ويأمر بإخراجها فقد أخرج عبد الرزاق بسند صحيح عن عبد بن ثعلبة قال : خطب رسول الله صلى الله عليه و سلم قبل يوم الفطر بيوم أو يومين فقال : " أدوا صاعا من بر أو قمح أو صاعا من تمر أو شعير عن كل حر أو عبد صغير أو كبير "

وفي بيان حكمها ومقاديرها تفصيل المذاهب فانظره تحت الخط:
1. الحنفية قالوا : حكم صدقة الفطر الوجوب بالشرائط الآتية فليست فرضا ويشترط لوجوبها أمور ثلاثة : الإسلام والحرية وملك النصاب الفاضل عن حاجته الأصلية ولا يشترط نماء النصاب ولا بقاؤه فلو ملك نصابا بعد وجوبها ثم هلك قبل أدائها لا تسقط عنه بخلاف الزكاة فإنه يشترط فيها ذلك كما تقدم وكذا لا يشترط فيها العقل ولا البلوغ فتجب في مال الصبي والمجنون حتى إذا لم يخرجها وليهما كان آثما ويجب عليهما دفعها للفقراء بعد البلوغ والإفاقة ووقت وجوبها من طلوع فجر عيد الفطر ويصح أداؤها مقدما ومؤخرا لأن وقت أدائها العمر فلو أخرجها في أي وقت شاء كان مؤديا لا قاضيا كما في سائر الواجبات الموسعة إلا أنها تستحب قبل الخروج إلى المصلى لقوله صلى الله عليه و سلم : " أغنوهم عن السؤال في هذا اليوم " ويجب أن يخرجها عن نفسه وولده الصغير الفقير وخادمه وولده الكبير إذا كان مجنونا أما إذا كان عاقلا فلا يجب على أبيه وإن كان الولد فقيرا إلا أن يتبرع ولا يجب على الرجل أن يخرج زكاة زوجته فإن تبرع بها أجزأت ولو بغير إذنها وتخرج من أربعة أشياء : الحنطة والشعير والتمر والزبيب فيجب من الحنطة نصف صاع عن الفرد الواحد والصاع أربعة أمداد . والمدر رطلان والرطل مائة وثلاثون درهما ويقدر الصاع بالكيل المصري بقدحين وثلث . فالواجب من القمح وسدس مصري عن كل فرد والكيلة المصرية تكفي سبعة أفراد إذا زيد عليها سدس قدح ويجب من التمر والشعير والزبيب صاع كامل فالكيلة المصرية منها تجزئ عن ثلاثة ويبقى منها قدح مصري ويجوز له أن يخرج قيمة الزكاة الواجبة من النقود بل هذا أفضل لأنه أكثر نفعا للفقراء ويجوز دفع زكاة جماعة إلى مسكين واحد كما يجوز دفع زكاة الفرد إلى مساكين ومصرف زكاة الفطر هو مصرف الزكاة العامة الذي ورد في آية : { إنما الصدقات للفقراء } الآية

2. الحنابلة قالوا : زكاة الفطر واجبة بغروب شمس ليلة عيد الفطر على كل مسلم يجد ما يفضل عن قوته وقوت عياله يوم العيد وليلته بعد ما يحتاجه من مسكن وخادم ودابة وثياب بذلته وكتب علم وتلزمه عن نفسه وعمن تلزمه مؤنته من المسلمين فإن لم يجد ما يخرجه لجميعهم بدأ بنفسه فزوجته فرفيقه فأمه فأبيه فولده فالأقرب فالأقرب باعتبار ترتيب الميراث وسن إخراجها عن الجنين والأفضل إخراجها في يوم العيد قبل الصلاة ويكره إخراجها بعدها ويحرم تأخيرها عن يوم العيد إذا كان قادرا على الإخراج فيه ويجب قضاؤها وتجزئ قبل العيد بيومين ولا تجزئ قبلهما ومن وجب عليه زكاة فطره أخرجها في المكان الذي أفطر فيه آخر يوم من رمضان وكذا يخرج من وجب عليه زكاة فطره أخرجها في المكان الذي أفطر فيه آخر يوم من رمضان وكذا يخرج من وجبت عليه فطرته في هذا المكان والذي يجب على كل شخص : صاع من بر أو شعير أو تمر أو زبيب أو أقط وهو طعام يعمل من اللبن المخيض ويجزئ الدقيق إن كان يساوي الحب في الوزن فإن لم يوجد أحد هذه الأشياء أخرج ما يقوم مقامه من كل ما يصلح قوتا من ذرة أو أرز أو عدس أو نح ذلك ويجوز أن يعطي الجماعة فطرتهم لواحد كما لا يجوز للشخص شراء زكاته ولو من غير من أخذها منه ومصرفها مصرف الزكاة المفروضة

3. الشافعية قالوا : زكاة الفطر واجبة على كل حر مسلم ويجب على الكافر إخراج زكاة خادمه وقريبه المسلمين إذا كان قادرا على قوته وقوت عياله يوم العيد وليلته بعدما يحتاج إليه من كل ما جرت به العادة من حو سمك وغيره من الطعام الذي يصنع للعيد . ومن الثياب اللائقة به وبمن يمونه . ومن مسكن وخادم يحتاج إليهما يليقان به ومن آنية وكتب يحتاجهما ولو تعددت من نوع واحد ومن دابة أو غيرها مما يحتاجه لركوبه وركوب من يمونه مما يليق بهما وتجب ولو كان المزكي مدينا ويجب أن يخرجها عنه وعمن تلزمه نفقته وقت وجوبها وهم أربعة أصناف : الأول : الزوجة غير الناشز ولو موسرة أو مطلقة رجعيا أو بائنا حاملا إذا لم تكن لها نفقة مقدرة وإلا فلا تجب . ومثل المرأة العبد والخادم . الثاني : أصله وإن علا . الثالث : فرعه وإن سفل : ذكرا أو أنثى صغيرا أو كبيرا والأصل والفرع لا تجب الزكاة عنهما إلا إذا كانوا فقراء أو مساكين ولو بسبب الاشتغال بطلب العلم . ويشترط في الفرع الكبير الذي لم يكن مشتغلا بطلب العلم أن يكون غير قادر على الكسب الرابع : المملوك وإن كان آبقا أو مأسورا ووقت وجوبها آخر جزء من رمضان وأول جزء من شوال ويسن إخراجها أول يوم من أيام عيد الفطر بعد صلاة الفجر وقيل صلاة العيد ويكره إخراجها بعد صلاة العيد إلى الغروب إلا لعذر كانتظار فقير قريب ونحوه ويحرم إخراجها بعد غروب اليوم الأول إلا لعذر كغياب المستحقين لها وليس من العذر في هذه الحالة انتظار نحو قريب ويجوز إخراجهما من أول شهر رمضان في أول يوم شاء ويجب إخراجها في البلد التي غربت عليه فيها شمس آخر أيام رمضان ما لم يكن قد أخرجها في رمضان قبل ذلك في بلده والقدر الواجب عن كل فرد صاع - وهو قد حان بالكيل المصري - من غالب قوت المخرج عنه وأفضل الأقوات : البر فالسلت - الشعير النبوي - فالذرة فالأرز فالحمص فالعدس فالفول فالتمر فالزبيب فالأقط فاللبن فالجبن ويجزئ الأعلى من هذه الأقوات وإن لم يكن غالبا عن الأدنى وإن كان هو الغالب بدون عكس ولا يجزئ نصف من هذا ونصف من ذاك وإن كان غالب القوت مخلوطا ولا تجزئ القيمة ومن لزمه زكاة جماعة ولم يجد ما يفي بها بدأ بنفسه فزوجته فخادمها فولده الصغير فأبيه فأمه فابنه الكبير فرفيقه
فإن استوى جماعة في درجة واحدة كالأولاد الصغار اختار منهم من شاء وزكى عنه

4. المالكية قالوا : زكاة الفطر واجبة على كل حر مسلم قادر عليها في وقت وجوبها سواء كانت موجودة عنده أو يمكنه اقتراضها فالقادر على التسلف يعد قادرا إذا كان يرجو الوفاء ويشترط أن تكون زائدة عن قوته وقوت جميع من تلزمه نفقته في يوم العيد فإذا احتاج إليها في النفقة فلا تجب عليه ويجب أن يخرجها الشخص عن نفسه وعن كل من تلزمه نفقته من الأقارب وهم الوالدان الفقيران . والأولاد الذكور الذين لا مال لهم إلى أن يبلغوا قادرين على الكسب والإناث الفقراء أيضا إلى أن يدخل الزوج بهن أو يدعى للدخول بشرط أن يكن مطيقات للوطء والمماليك ذكورا وإناثا والزوجة والزوجات . وإن كن ذات مال . وكذا زوجة والده الفقير وقدرها صاع عن كل شخص . وهو قدح وثلث بالكيل المصري فتجزئ الكيلة عن ستة أشخاص ويجب إخراج الصاع للقادر عليه فإن قدر على بعضه أخرجه فقط ويجب إخراجها من غالب قوت البلد من الأصناف التسعة الآتية وهي : القمح والشعير والسلت والذرة والدخن والأرز والتمر والزبيب . والأقط - لبن يابس أخرج زبده - فإن اقتات أهل البلد صنفين منها ولم يغلب أحدهما خير المزكي في الإخراج من أيهما ولا يصح إخراجها من غير الغالب إلا إذا كان أفضل كأن اقتاتوا شعيرا فأخرج برا فيجزئ وما عدا هذه الأصناف التسعة . كالفول والعدس لا يجزئ الإخراج منه إلا إذا اقتاته الناس وتركوا الأصناف التسعة فيتعين الإخراج من المقتات فإن كان فيه غالب وغير غالب أخرج من الغالب وإن استوى صنفان في الاقتيات : كالفول والعدس خير في الإخراج من أيهما وإذا أخرجها من اللحم اعتبر الشبع مثلا إذا كان الصاع من القمح يشبع اثنين لو خبز فيجب أن يخرج من اللحم ما يشبع اثنين وشرط في صرف الزكاة لواحد من الأصناف المذكورة في الآية أن يكون فقيرا أو مسكينا حرا مسلما ليس من بني هاشم فإذا وجد ابن سبيل ليس فقيرا ولا مسكينا . الخ لا تصرف له الزكاة وهكذا ويجوز إعطاء كل فقير أو مسكين صاعا أو أقل أو أكثر والأولى أن يعطى لكل واحد صاعا وهنا أمور تتعلق بذلك وهي : أولا إذا كان الطعام الذي يريد الإخراج منه غير نظيف - به غلت - وجبت تنقيته إذا كان الغلت ثلثا فأكثر وإلا ندبت الغربلة ثانيا : يندب إخراجها بعد فجر يوم العيد وقبل الذهاب لصلاة العيد ويجوز إخراجها قبل يوم العيد بيوم أو يومين ولا يجوز أكثر من يومين على المعتمد ثالثا : إذا وجبت زكاة عن عدة أشخاص وكان من وجبت عليه زكاتهم غير قادر على إخراجها عنهم جميعا ويمكنه أن يخرجها عن بعضهم بدأ بنفسه ثم بزوجته ثم ولديه ثم ولده رابعا : يحرم تأخير زكاة الفطر عن يوم العيد ولا تسقط بمضي ذلك اليوم بل تبقى في ذمته فيطالب بإخراجها عن نفسه وعن كل من تلزمه نفقته إن كان ميسورا ليلة العيد خامسا : من كان عاجزا عنها وقت وجوبها ثم قدر عليها في يوم العيد لا يجب عليها إخراجها ولكنه يندب فقط . سادسا : من وجبت عليه زكاة الفطر وهو مسافر ندب له إخراجها عن نفسه ولا يجب إذا كانت عادة أهله الإخراج عنه أو أوصاهم به فإن لم تجر عادة أهله بذلك أو لم يوصهم وجب عليه إخراجها عن نفسه سابعا : من اقتات صنفا أقل مما يقتاته أهل البلد : كالشعير بالنسبة للقمح جاز له الإخراج منه عن نفسه وعمن تلزمه نفقته إذا اقتاته لفقره فإن اقتاته لشح أو غيره فلا يجزئه الإخراج منه ثامنا : يجوز إخراج زكاة الفطر من الدقيق أو السويق بالكيل وهو قدح وثلث كما تقدم ومن الخبز بالوزن . وقدر برطلين بالرطل المصري )

Jumat, 15 April 2011

MEMA STAIN MALIKUSSALEH LHOKSEUMAWE DALAM MERAJUT INTELEKTUAL KAMPUS SEJATI (Sebuah Tawaran Dinamika Pergerakan Mahasiswa)

Oleh: Safriadi
Beranjak dari rencana Majlis Eksekutif Mahasiswa (MEMA) STAIN Malikussaleh Lhokseumawe mengadakan pertemuan BEM PTI se Indonesia, naluri keilmuan penulis merasa terpancing untuk menyumbangkan ide-ide dan kritikan yang membangun untuk kegemilangan pergerakan organisasi mahasiswa kampus ke depan. Tulisan ini hanya sebagai bentuk partisipasi dan sebagai pembuka wacana berpikir yang lebih bijak dan kritis sebagai insan intelek kampus yang mumpuni.
Dinamika adalah sesuatu yang mengandung arti tenaga kekuatan, selalu bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap keadaan. Dinamika juga berarti adanya interaksi dan interdependensi antara anggota kelompok dengan kelompok secara keseluruhan. Sebagaimana menurut Sulaiman Yusuf (1986), memberikan batasan bahwa : “Perubahan secara besar maupun secara kecil atau perubahan secara cepat atau lambat itu sesungguhnya adalah suatu dinamika, artinya suatu kenyataan yang berhubungan dengan perubahan keadaan”
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, mahasiswa selalu dianggap sebagai sosok yang dapat berpikir kritis, realistis dan dialektis. Bahkan tak jarang sering radikal dan revolusioner (Ari Sulistyanto, 1994)
Mengangkat pernyataan Paul Baran bahwa seorang intelektual pada azasnya adalah seorang pengeritik masyarakat, seorang yang pekerjaannya mengidentifikasi, menganalisis dan dengan demikian membantu mengatasi rintangan-rintangan jalan yang menghambat tercapainya susunan-susunan masyarakat yang lebih baik, lebih berperikemanusiaan dan lebih rasional. Dengan demikian dia menjadi hati nurani masyarakat dan menjadi juru bicara dari kekuatan-kekuatan progresif yang terdapat dalam tiap periode tertentu dari sejarah. Dan dengan demikian mau tidak mau dianggap “pengacau” dan seorang yang menjengkelkan bagi penguasa”.
Lazimnya bila menyingggung sebuah pergerakan mahasiswa, maka umumnya direpresentasikan dengan aksi demonstrasi mahasiswa, dalam hal ini harus ada tiga tawaran yang harus dilakukan oleh setiap pergerakan, yaitu pemilihan isu, eskalasi gerakan, dan manajemen opini media. Namun dalam tulisan ini, penulis menawarkan suatu paradigma lain menyangkut dengan kata-kata gerakan mahasiswa, yaitu suatu pergerakan yang bukan memobilisasi massa untuk berunjuk rasa, namun bagaimana cara menciptakan seorang mahasiswa berpikir kritis, kemampuan melakukan kajian-kajian ilmiah, peka terhadap masalah intern dan ekstern kampus, sehingga terciptanya insan intelektual kampus, sebagaimana tujuan dari diterapkannya tridarma perguruan tinggi.
Bila kita amati dengan seksama, mahasiswa mempunyai kedudukan yang sangat unik yaitu sebagai kaum yang diterima oleh semua lapisan masyarakat dan mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi. Keberadaan tersebut juga didukung oleh karakteristik mahasiswa yang rata-rata masih berusia muda, penuh semangat, dinamis dan tidak takut kehilangan sesuatu yang merusak idialisme dirinya. Karena sebagai bagian dari generasi muda (pemuda), status kemahasiswaannya menyandang nilai lebih dari pemuda lainnya. Melalui kajian-kajian dan pemikiran-pemikiran yang metodis, mahasiswa diharapkan mampu menangkap, menganalisis, dan mensintesakan setiap perubahan-perubahan dan dinamika kehidupan yang terjadi dalam masyarakat. Baik itu menyangkut kehidupan politik, sosial, ekonomi, hak asasi maupun permasalahan-permasalahan lain yang mengharuskan mahasiswa untuk menyikapi dan menyuarakan pemikirannya.
Karena itulah di lingkungannya mahasiswa sering dikatakan sebagai "intelektual sejati". Ketika harus terjun ke masyarakat, mereka dapat dengan mudah berbaur, dan ketika harus berurusan dengan kaum birokrat, mereka mampu mengimbangi dengan kemampuan intelektual dan pendidikan yang telah diterimanya selama ini. Oleh sebab itu, mereka berperan strategis dalam kehidupan berbangsa yaitu sebagai penerus cita-cita bangsa. Berangkat dari hal demikian, MEMA STAIN Malikussaleh Lhokseumawe masih terkesan lamban, kaku dan bahkan belum menyentuh aspek-aspek kritis yang sepatutnya mereka lakukan dalam setiap master plannya, hal ini dapat terlihat dari belum terbentuknya lembaga-lembaga yang mewadahi penelitian mahasiswa. Ini menjadi indikator bahwa minat para aktivis kampus dalam hal ini para pengurus MEMA, masih berioentasi kepada hal yang berbau materil, tidak pernah melihat kepada minat dan potensi yang dimiliki oleh mahasiswa. Dalam kontek mewujudkan insan intelektual kampus yang sejati, Penulis pernah melakukan diskusi dan wawancara dengan petinggi MEMA. Terlihat bahwa masih belum terwujudkan pengkaderan-pengkaderan yang berbasis intelektualitas. Menurut penulis, MEMA harus melakukan pengkaderan sebagai transformasi ide dan wawasan (wawasan kei-Islaman, ke-umatan, serta wawasan ke-MEMA-an) sekaligus sebagai proses regenerasi dan kesinambungan masa depan MEMA itu sendiri. Ada dua alasan yang menjadikan penulis memberanikan diri mendiskusikan dan mengusulkan itu. Pertama, alasan ideal dan faktual. Secara ideal, dalam sebuah organisasi pergerakan-apapun namanya pengkaderan atau kaderisasi adalah jantungnya organisasi. Estafet perjuangan harus ada yang meneruskan agar tidak terhenti sampai batas masanya, kader-keder selanjutnya itulah yang harus meneruskannya. Kedua, secara faktual, bahwa MEMA mempunyai banyak sekali potensi-potensi yang dimiliki anggotanya khususnya dan mahasiswa pada umumnya, jika potensi-potensi itu tadi dibiarkan dan tidak dipupuk serta diarahkan, dikhawatirkan potensi-potensi yang dimiliki itu secara perlahan akan "mati muda".
MEMA STAIN Malikussaleh merupakan MEMA yang berasaskan keislaman, sehingga budaya yang dipraktekkan dalam kesehariannya harus selaras seperti visi MEMA itu sendiri. Hofstede (1994:180) mendefinisikan budaya organisasi sebagai pemikiran secara kolektif yang membedakan para anggota satu organisasi dengan organisasi lainnya. Budaya berorganisasi di STAIN, dalam hal ini MEMA harus menciptakan karakteristik tersendiri, jangan hanya bisa mengadopsi budaya dari organisasi yang lain. Misalnya budaya organisasi ormas-ormas islam. Menurut penulis itu merupakan mundur kebelakang. Bukan suatu langkah maju dan terobosan jitu untuk merubah image MEMA STAIN Malikussaleh ke depan lebih cemerlang, karena intelektual muda yang berakar pada para mahasiswa, saat ini mulai hilang seiring dengan membanjirnya kekuatan kapitalisme lewat budaya massa dan budaya instan lainnya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh dosen dan peneliti Universitas Negeri Semarang (Unnes), Saratri Wilonoyudho. Oleh karena demikian, MEMA STAIN Malikussaleh harus merespon gejala ini dengan melakukan penyegaran terhadap kapitalisme yang menciptakan budaya massa dan budaya instan yang menyebabkan banyak mahasiswa yang datang ke kampus bukan untuk mencari ilmu, namun sekedar untuk mendapatkan gelar. Sehingga lulusan yang dihasilkan STAIN Malikussaleh tidak hanya mendapat titel sarjananya namun, juga harus mendapatkan titel intelektual. Karena jelas tampak sekali beda antara intelektual dan sarjana. Untuk mendapatkan predikat intelektual tidaklah harus melalui proses pendidikan tinggi namun tidak semua penikmat pendidikan tinggi adalah seorang intelektual.
Pengalaman penulis tercenung agak lama menyaksikan peristiwa menyedihkan yang terjadi di kampus tercinta ini. Tunas-tunas muda yang tumbuh dengan semangat kritis harus tumbang karena berbeda pendapat, ide dan pemikiran. Kampus sebagai tempat dimana orang mengasah pikiran maupun akal sehat dipaksa roboh hanya karena ketidak sediaan menerima dialog. Anak-anak muda yang berada di balik terali besi itu terenggut sudah hari-hari belajarnya karena berusaha untuk menghidupkan kembali, Mereka tersungkur dalam proses komersialisasi pendidikan yang berangkat dari anggapan-anggapan yang naïf. Isu adanya unsur premanisme kampus begitu terasa di STAIN Malikussaleh Lhokseumawe. Apakah ini benar adanya?Wallahu’aklam, hanya hati nurani masing-masing yanng bisa menjawabnya. Ini merupakan tugas berat yang harus diemban dan di handle oleh kepemimpinan MEMA saat ini dan penerusnya kedepan. Tawaran penulis, isu premanisme ini jangan dilawan dengan cara membuat aksi mahasiswa (demonstrasi), namun ciptakan, wujudkan dan berikan ide-ide yang kritis bagi para mahasiswa, sehingga mereka bisa berperang bukan dengan fisik dan senjata, namun dengan perperangan pemikiran. Tindakan premanisme tidak mampu memberikan metode pendidikan pembebasan yang dialogis, artinya pendidikan yang membuka seluas-luasnya kesempatan untuk bertanya dan berpikir secara kritis, kesempatan untuk bebas berkelompok dan seterusnya sehingga mahasiswanya mengekspresikan sebuah keterkekangan dalam bentuk tindakan premanisme tadi. Dapat pula kita melihat kemungkinan yang lain bahwa dalam dunia kampus, para mahasiswa yang melakukan tindakan premanisme tidak mendapatkan keteladanan konkret yang mencerminkan kualitas mental dan moral yang tinggi dari semua elemen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan dunia kampus. Jika dua asumsi mendasar tadi (ruang-ruang dialogis bagi mahasiswa dan keteladanan mental dan moral) yang disebutkan diatas tidak ada dalam dunia kampus itu sendiri maka memang sulit untuk generasi dan semua elemen bangsa saat ini untuk mengharapkan lebih dari dunia perguruan tingi, kita kemudian tidak bisa menjamin bahwa dunia kampus sebagai wadah penggodokan kader-kader bangsa yang bermoral, cerdas, dan kreatif. Terakhir penulis dan kawan-kawan berpesan agar keluarga MEMA STAIN Malikussaleh mewujudkan interaksi sosial keilmiahan dan optimalisasi peran mahasiswa dalam langkah membangun reputasi, menciptakan prestasi, menggapai solidaritas dan sinergisitas kelembagaan sesuai budaya intelektual emosional, spiritual, sehingga menghasilkan intelektual “sejati”. Awalilah dengan niat, berbuatlah dari hal yang terkecil karena dari yang terkecil tersebut dapat melahirkan sumbangsih yang begitu besar buat sebuah perubahan.

Kamis, 14 April 2011

PENDIDIKAN DAYAH DI ERA MODERN (SUATU TAWARAN ALTERNATIF PERBAIKAN AKHLAK GENERASI MUDA)


Oleh:
Safriadi Bin Muhammad Nurdin  Bin Murrah


Perubahan social-kebudayaan adalah perubahan dalam hubungan interaksi antar orang, organisasi atau komunitas, ia dapat menyangkut “struktur sosial” atau “pola nilai dan norma” serta “peran”. Prilaku remaja merupakan salah satu proses perkembangan perobahan keadaan para remaja. Dalam suatu teori dijelaskan bahwa seseorang yang menginjak masa remaja terjadi perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya, diantaranya  dimensi biologis, dimensi kognitif, dimensi moral, dan dimensi psikologis. Perubahan ini harus disikapi dengan baik agar tidak terjurumus kedalam perubahan kearah yang negatif.
Salah bentuk menyikapi perubahan yang terjadi pada diri seorang remaja itu yaitu dengan memberikannya pendidikan baik umum maupun agama. Dalam realita yang di temukan lapangan, banyak generasi muda baik itu dalam tingkatan pendidikan sekolah menengah maupun di perguruan tinggi khusus dalam dimensi moral yang sudah menyalahi aturan agama dan adat istiadat yang berlaku di daerah yang mendapat label Syari’at Islam ini, misalnya banyaknya tindakan amoral yang pelakunya rata-rata orang yang memiliki latar belakang pendidikan. Oleh karenanya krisis moral yang sedang melanda penerus bangsa membuat kita mundur, meski dalam kenyataan hari ini kita kebanjiran orang-orang pintar. Sayangnya, kebanyakan cuma pandai membodohi, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Budaya saling menyalahkan telah membumi di daerah ini sehingga orang-orang sibuk menyalahkan sementara persoalan tiada yang menyelesaikannya, satu sama lain saling memfitnah. Apabila dipelajari secara teliti, akan menemukan dasar kesalahan dari ini semua bahwa ini tidak terlepas dari watak dan kepribadian anak-anak bangsa. Kepribadian yang tidak terurus akan menyimpan sifat hasut, dengki, fitnah yang menjurus kepada perpecahan.

Menyimak permasalahan yang terjadi pada generasi muda tersebut, maka menurut penulis dan sekaligus tawaran sistem pendidikan yang ditempuh oleh para remaja harus dirombak dan diperbaharui. Corak pendidikan yang layak ditawarkan untuk menjawab krisis pendidikan sekarang adalah pendidikan Islami ala “dayah” 

Hal demikian juga diungkapkan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Provinsi Aceh yang berupaya mendorong peningkatan kualitas pendidikan bernilai Islami sebagai dukungan bagi usaha mempercepat pembangunan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) sejalan dengan pemberlakuan syariat Islam di provinsi Aceh.
Dayah dengan langkah yang ditempuh berpotensi melahirkan anak-anak bangsa yang bertakwa, tahu aturan, disiplin, ikhlas dalam melaksanakan kewajiban;  menjadi manusia-manusia yang terampil, cerdas, bijaksana dalam bersikap dan berakhlak mulia yang kemudian menjadi panutan dan rujukan masyarakat dalam menyikapi berbagai persoalan. Bahkan, dengan didikannya dayah, berpeluang menciptakan benih pemimpin yang bijak dan berakhlakul karimah. Apabila kita ingin menyelesaikan persoalan kita sekarang maka ke depan kita harus bisa melahirkan generasi yang punya wawasan, kreatif, cerdik, dan berakhlak mulia. Disini, dayah adalah salah satu solusinya.
Dayah dalam komunitas masyarakat Aceh merupakan sarana pembelajaran ilmu yang strategis, khususnya ilmu-ilmu agama yang mentransformasikan ilmu dari satu generasi ke generasi lain. Selain itu fungsi dayah juga sebagai institusi yang selalu memberikan respons terhadap persoalan sosial kemasyarakatan yang terjadi di Aceh. Peran dayah dan ulama dayah hasil didikannya menjadi panutan di tengah-tengah masyarakat. Ulama dayah harus selalu siap menjadi pengawal bagi terciptanya komunitas intelektual Aceh .Di Aceh, ulama dan dayah tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dayah sudah menghasilkan berbagai lulusan agama semenjak pertama kali masyarakat muslim terbentuk di sana. Ulama dayah selalu merespons semua permasalahan yang terjadi di Aceh untuk membimbing masyarakat yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Konsistensi komitmen mereka kepada Aceh dan masyarakat telah membawa mereka menjadi kelompok yang dihormati dan berpengaruh di Aceh
Dayah adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran  Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Namun yang penulis maksudkan disini adalah Suatu lembaga pendidikan Islam baik modern atau tradisional.
Bila ditelusuri sejarah lembaga pendidikan Islam yang ada pertama sekali di Aceh sejak masuknya Islam adalah Dayah. Dayah pada tempo dulu  telah mendidik rakyat Aceh sehingga mereka ada yang mampu menjadi raja, menteri, panglima militer, ulama, ahli teknologi perkapalan, pertanian, kedokteran dan lain-lain. disebabkan fungsi dan peran ulama di masa dulu, baik mengajar maupun menulis sejumlah kitab yang telah mempengaruhi pemikiran Islam di di wilayah Indonesia. Inilah yang telah mengharumkan nama Aceh pada masa lalu sampai diberi julukan Aceh sebagai Serambi Makkah.

Menurut penulis sistem pendidikan dayah pada era moden ini harus diberi tambahan kurikulum yang memuat kurikulum pendidikan yang bersifat umum. Dan dengan ditambahkan kurikulum ini tidak akan mengkikis tradisi dan orisinalitas kekhasan dayah itu sendiri, dikarenakan  penambahan kurikulum  merupakan salah satu cara bagi para lulusan dayah nantinya untuk berinteraksi dalam masyarakat yang hegemoni watak dan budayanya sangat beragam. Dengan kata lain, harus adanya reintegrasi antara pendidikan umum dan agama dalam kurikulum
Reintegrasi (penyatuan kembali) konsep dan metodologi pendidikan dayah dan sekolah dan perguruan tinggi  akan menjadi model pendidikan Islam ideal pada masa sekarang. Dalam hal ini, reaktualisasi kurikulum dayah agar dapat diberlakukan di dayah-dayah di Aceh. Reaktualisasi yang penulis maksudkan disini adalah penataan kembali kurikulum dayah agar mampu berkiprah dan menyesuaikan perannya dengan perkembangan zaman dan harapan masyarakat luas. Harus kita akui, stagnasi kontribusi dayah dalam keilmuan kontemporer dewasa ini adalah karena dayah melepas diri dari metodologi dan kurikulum yang sanggup menjawab kebutuhan zaman dan masyarakatnya di era kontemporer. Hal ini sesuai dengan kaidah
المحافظة على القديم الصالح.والاخد بالجديد الاصلاح                                                                    
Dalam sejarah Islam di Aceh, dari sisi normatif-historis, dayah memiliki peranan besar dalam membangun masyarakat yang berbudaya dan berkeadaban. Seperti pada masa kerajaan Iskandar Muda. Tak jarang banyak ilmuan sosial baik dari dalam maupun dari luar negeri mencatat peran dayah ini sebagai sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kultural masyarakat Aceh dalam semua dimensi kehidupan. Seperti Martin Van Bruinessen, Islamisis berkembangsaan Belanda, ia menyatakan bahwa dayah tidak bisa saja kaya dengan berbagai literatur keilmuan, tetapi juga mampu memberikan konstribusinya bagi masyarakat di sekitarnya. Dayah bahkan telah menjadi sub kultur di tengah masyarakat. Pada tataran teritoral, ekspansi kontribusi dayah juga mencapai skala regional dan bahkan internasional.

Sistem pendidikan pesantren, terutama salafiyah, memiliki keunggulan dalam penguasaan pengetahuan agama yang spesfik semisal tafsir, hadis, fikih, dan sebagainya. Apalagi, para santri keluaran pesantren unggul dalam peran-peran kemasyarakatan (social building). Hal ini bisa dilihat dari tujuan pendidikan yang diterapkan di dayah, yaitu :
1.      Mendidik santri agar menjadi seorang muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT.
2.      Mendidik santri agar menjadi manusia muslim dan kader-kader mubaligh yang tangguh, tabah, dan handal.
3.      Mendidik santri agar memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan.
4.      Mendidik santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dan dan terampil dalam pembangunan mental dan spiritual.
5.      Mendidik santri agar dapat memberi bantuan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam rangka usaha pembangunan bangsa.       
Jadi, untuk menjawab tantangan zaman dengan berbagai macam kemajuan teknologi pada era modern ini, maka pendidikan ala “dayah” lah sebagai tawarannya yang harus diterapkan dalam setiap sistem pendidikan di Nanggroe Serambi Mekkah ini.

Senin, 04 April 2011

MUNGKINKAH STAIN MALIKUSSALEH LHOKSEUMAWE JADI UIN

Pidato Wisudawan Angkatan VII STAIN Malikussaleh Lhokseumawe Tanggal 12 Maret 2011 



Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh
Yth. Ketua STAIN Malikussaleh Lhokseumawe selaku Ketua Senat,
Yang kami hormati, Seluruh Anggota Senat STAIN Malikussaleh Lhokseumawe
Yang Kami Hormati, Para Dosen serta pegawai di lingkungan STAIN Malikussaleh Lhokseumawe
Salam Ta’zim dan Keikraman kepada Para Orang Tua kami
Yang Kami Hormati, Bapak / Ibu para Undangan sekalian,
Rekan-rekan Wisudawan dan Wisudawati yang saya banggakan..
Serta hadirin yang berbahagia.

Merupakan suatu kehormatan besar bagi saya selaku perwakilan wisudawan untuk berdiri di hadapan hadirin sekalian, di mimbar yang begitu prestisius ini, untuk menyampaikan kesan dan pesan kami selama menimba ilmu dan menempuh pendidikan di lembaga tercinta ini.
Hadirin bapak/ibu yang saya hormati..
Empat tahun yang lalu kita berkumpul bersama disini untuk menerima sebuah pendidikan. Hari ini menandai sebuah tonggak dalam pencarian tersebut. Sebuah titik kulminasi dari empat tahun pembelajaran. Empat tahun sudah kami telah berjuang mengasah diri, menuai tempaan yang menguras konsentrasi, tenaga dan materi demi sebuah cita-cita, yaitu menjadi seorang insan yang kamil yang mampu mengkaji berbagai disiplin ilmu sesuai dengan visi STAIN Malikusssaleh.
Begitu banyak kenangan, suka, duka, dan pahit manis perjalanan yang telah kami lalui. Saatnyalah sekarang kita bersama-sama melakukan refleksi atas apa yang telah kita lalui dan kita pelajari.
Hadirin Bapak/Ibu yang berbahagia.....
Cukup banyak kesan yang kami dapatkan selama kami menempuh pendidikan di STAIN Malikussaleh.
Secara umum kesan yang kami dapatkan adalah positif, dan kami merasa sangat bangga pernah menjadi  dan akan terus menjadi bagian dari keluarga besar STAIN Malikussaleh. Secara formal, proses pendidikan yang berlangsung di lembaga ini telah mampu menggiring mahasiswa menjadi individu yang cerdas secara intelektual, spiritual, dan Emosional, memiliki olah rasa yang kuat serta bertakwa kepada Tuhan Rabbul Jalal Wal Ikram.
 Di samping itu, kesempatan berinteraksi dengan para pendidik, pakar hukum, dan jurnalis dari berbagai karakter dalam event-event berskala lokal, nasional dan bahkan internasional, baik di dalam kampus maupun diluar kampus secara tidak langsung telah membentuk mentalitas untuk kami gunakan sebagai bekal terjun ke masyarakat.

Bapak Ibu serta hadirin yang berbahagia………………..
Dalam kesempatan yang baik ini, kami ingin menyampaikan terima kasih serta penghargaan setinggi-tingginya kepada para dosen, karena telah berupaya keras mendidik dan membimbing kami agar menjadi insan cerdas berdaya saing tinggi. Kamiii... bisa berada disini pada hari ini tentu merupakan buah dari hasil didikan para dosen2 kami yang telah kami anggap sebagai orang tua kami di kampus ini. Kami berharap, ikatan silaturahmi yang telah terjalin dapat terus terjaga dan tak akan pernah pudar terhapus oleh perjalanan sang waktu.
Kami pun menyadari bahwa selama menempuh pendidikan di lembaga ini terdapat banyak kesalahan dan kekhilafan yang telah kami lakukan dalam bertindak, berkata dan bersikap. Hal tersebut tidak terlepas dari proses penemuan jati diri yang sedang kami alami dan bukanlah sesuatu yang kami harapkan terjadi. Untuk itu, kami memandang inilah momen terbaik kami untuk memohon maaf kepada segenap pihak, sehingga selepasnya kami dari lembaga ini tidak ada lagi ganjalan di hati sebagai penghambat tali silaturahmi kita.

Bapak ibu, hadirin yang berbahagia,….

Tentunya, sejalan dengan kesan positif yang telah berhasil dibangun oleh lembaga yang kita cintai ini, terdapat beberapa hal yang patut diberi perhatian lebih, guna memantapkan pijak langkah STAIN ke depannya. Oleh dari itu, dengan segala kerendahan hati dan didasari semangat membangun, ijinkanlah kami menyampaikan beberapa pesan dari sudut pandang kemahasiswaan. Adapun pesan yang ingin kami sampaikan ialah :
1.      Di bidang Pembangunan fisik dalam beberapa tahun ini berkembang cukup signifikan dan menggembirakan, dari perkuliahan yang berlangsung di gedung lama di Lancang Garam, sehinga sekarang sudah dapat kami rasakan aroma sejuk nan rimbun di perbukitan Alue Awee ini, Sehingga harapan kami dan kita semua, dua atau tiga tahun ke depan kampus tercinta ini akan berubah statusnya...bukan ke STAI ataupun IAIN, namun berubah menjadi Universitas....Universitas Islam Negeri (UIN) Malikussaleh Lhokseumawe.
2.      Di bidang kemahasiswaan. Lulusan STAIN Malikussaleh sudah terbukti menjadi seorang lulusan yang ungggul di dalam bidangnya, oleh karena itu.....kami Mohon agar kiranya di tahun ini, pihak kampus STAIN Malikussaleh Lhokseumawe menjaring alumni-alumni dengan prediket lulusan terbaik untuk memberikan beasiswa penuh dan disekolahkan ke jenjang Strata 2....dengan harapan ilmu2 yang mereka peroleh kelak nantinya bisa diaplikasikan untuk kemajuan STAIN Malikussaleh.
3.       Agar STAIN Malikussaleh selalu berpegang teguh pada visi dan misinya, serta mampu menjaga wibawa, martabat dan citra lembaga di mata masyarakat luas.

Sedangkan pesan saya kepada rekan-rekan wisudawan-wisudawati yang saya banggakan,, singkat saja yaitu :
1.      Jangan pernah merasa takabur dan cepat puas diri, sebab diatas langit masih ada langit. Mari kita terus mengisi diri secara keilmuan, terus mengasah kepekaan rasa dan tentu saja mengamalkan ajaran agama secara seimbang. Dan melanjutkan pendidikan ke jenjang strata 2
Bapak/Ibu Hadirin yang berbahagia..
Tanpa kita sadari, bahwa semua yang kita peroleh hari ini merupakan sebagian kebaikan yang diberikan para pengajar kita. Kita harus menjadi pribadi yang tahu balas budi. Hutang materi mudahlah dilunasi, hutang budi akan dibawa mati. Maka, pada kesempatan yang baik ini, perkenankan kami mewakili rekan-rekan wisudawan menyampaikan rasa terima kasih dengan setulus-tulusnya kepada:
1. Bapak Ketua, Para Pembantu Ketua, Ketua jurusan, Ketua Program Studi dan Kepala UPT di lingkungan STAIN Malikussaleh Lhokseumawe. Bapak/Ibu terima kasih untuk semua kebaikan yang telah diberikan selama kami menimba ilmu di lembaga Tercinta ini.
2. Para Bapak, Ibu Dosen di lingkungan STAIN Malikussaleh Lhokseumawe. Untuk Bapak, Ibu, tiada kata terucap selain rasa terima kasih yang hanya dapat kami sampaikan kepada Bapak/Ibu.
3. Orang tua kami, suami dan istri kami, anak-anak kami, serta sahabat dan kerabat kami. Ayah-ibu, terima kasih untuk semua didikanmu sehingga hari ini kami dapat menyelesaikan pendidikan. Tanpamu, mustahil semua ini dapat diraih. Meskipun kami belum dapat membalas semua kebaikanmu, engkau masih terus memberikan kebaikan dengan ikhlas tanpa berharap balas. Semoga Allah memberikan syurga-Nya untuk Engkau.aamiiiiinnnnn,...
Hadirin Bapak/Ibu yang berbahagia
Akhir kata, kami berharap jalinan komunikasi antar alumni tetap terjaga sehingga terjadi sinergisitas untuk membangun kampus tercinta, baik saat ini maupun waktu yang akan datang. Untuk semua kesalahan, kekhilafan, dan tutur kata yang tiada berkenan, kami mohon maaf. Terima kasih untuk semua perhatiannya, dan…
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabaraakaatuh.
Lhokseumawe, 12 Maret 2011
Wakil wisudawan

 SAFRIADI MN