TEUNGKU SAFRIADI

TEUNGKU SAFRIADI

Senin, 30 November 2015

pengembara ilmu

Tgk. Safriadi, S.HI, MA. Ia dilahirkan di desa Keude Amplaih Meunasah Meucat Kecamatan Nisam Aceh Utara pada tanggal 17 Agustus 1985. Ia saat ini aktif sebagai dosen tetap di almamaternya STAIN Malikussaleh Lhokseumawe dalam bidang Ushul Fiqh & Fiqh. Sosok laki-laki religius ini mempunyai latar belakang agama yang kuat dan akademisi yang luas dalam ilmu Islam. Ia sekarang sedang menyelesaikan Program Doktoral Fiqh Modern di UIN Arraniry Banda Aceh. Menyelesaikan program Magister Fiqh Modern di IAIN Arraniry dengan lulusan Cumlaude (terpuji) dan mendapat prediket yang sama (cumlaude) ketika menyelesaikan program Sarjana Satu di jurusan Syari’ah STAIN Malikussaleh Lhokseumawe. Pendidikan Tgk. Safri (panggilan akrabnya) diawali dengan mengaji di rumahnya di bawah bimbingan Ayahandanya yang tergolong sangat disiplin dalam mendidik anak-anaknya, disamping sekolah dasar dan sekolah menengah yang ia tamatkan di desanya. Setelah itu Tgk. Safri meneruskan studinya ke Dayah Raudhatul M’arif Cottrueng Muara Batu Aceh Utara. Di dayah salafiyah inilah ia belajar serius ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan Tgk.H.M.Amin Daud (Ayah Cottrueng) yang kemudian menjadi menantunya. Belajar di dayah adalah pilihan tunggal dipilih olehnya, karena pada waktu itu keadaan keamanan di daerahnya dan cita-cita menerus jejak ayahandanya dalam ber tafaqquh fiddiin, mengakibatkan tidak ada pilihan lain untuk meneruskan studi ke sekolah umum. Di Dayah Cottrueng, Tgk. Safri berhasil menyelesaikan studinya hingga selesai menjadi guru rangkang selama tujuh tahun. Karena didasari atas kehausan ilmu terhadap ilmu pengetahuan, maka disamping mengabdi (belajar sambil mengajar) di dayah, ia melanjutkan studinya ke jenjang Perguruan Tinggi. Baginya tidak ada istilah dikotomi sesuatu ilmu, dikotomi itu hanyalah istilah orang-orang malas. Berawal ketika nyantri di Dayah Cottrueng, Tgk. Safri mengenal Shadiqatul Munawwarah, gadis yang merupakan anak pimpinan pesantren tempatnya menimba ilmu agama. Perkenalannya ini hingga membawa keduanya ke pelaminan pada tanggal 21 Desember 2013. Sesuai dengan filosofi hidupnya: khairunnass man yanfa’un nass. Teruslah berkiprah dan berkarya Tgk.!!!!!!! Banyak prestasi dan kegiatan yang pernah diikuti dan dilakoninya baik dalam event local, nasional maupun di tingkat internasional,

Selasa, 03 Mei 2011

ILMU MAQULATIL 'ASRAH

OLEH; Tgk. Safriadi Annisamiyah
bagi yang ingin memperdalam ilmu balaghah khususnya tentang maquulatul 'asrah...

هى تجتمع فى قول الشعر
ذيد الطويل الأدرك إنبى ملك @ فى بينه بلأمس كان متَكى
بيده غصن لواه فلتو ا @ فهذه عشر مقولات سوا
فهذه البيت تدل أفرد العشرة. أمَ تفصيلها هى
ذيد= إشارة إلي مقولات جوهر
الطويل = إشارة إلي مقولات الكم
الأزرك= إشارة إلي مقولات الكيف
إبن ملك= إشارة إلي مقولات الإضافة
في بيته = إشارة إلي مقولات الأين
بلأمس = إشارة إلي مقولات متى
متكي = إشارة إلي مقولات الوضع
بيده = إشارة إلي مقولات الملك
لوا = إشارة إلي مقولات الفعل
فالتوا = إشارة إلي مقولات النفعال

الإضافة = نسبة العا رضة للشئ بالقياس إلى نسبة أخر
الملك = هيئة تعرض للجسم بإعتبار ما يحيط به و ينقل به
الفعل = كون الشئ مؤخرا في غيره ما دام مؤخرا
الإنفعال = كون الشئ مؤخرا عن غيره
الأين = حصول الشئ في المكان
متى = حصول الشئ في المكان
الوضع = هيئة تعرض للشئ بإعتبار نسبة أجزاْ بعضها لبعض بلقرب والبعد والمحاذات
الكيف = عرض لايتوقف تعقله على تعقل غىره ولا يقتض القسمة واللأ قسمة إقتضا أوّليا وهى على أربعة أقسام
الكيفية المخصوصة وهى ما يتعلق بها إدرك الحواس الخمس وهي إما راسخة كحلاوة العسل و حرارة النار و تسمَى إنفعاليات أو غير راسخات كحمرة الخجل و تسمى إنفعالات
الكيفية المختصة بالكميات كالزوَجية والفردية في المنفصل والاستقامة والانحناء فى المتصل
الكيفية النفسانيت أي المحتصة بدوات الانفس وهى الحيوان دون الجماد والنبات كالحياة والادراكات وهى
إما راسخة فى النفس وتسمى ملكة كملكة العلم
إما غير راسخة فى النفس وتسمى أحوال كمرض والفرح
الكيفية الاستعدادية اي المقتضية استعداد اي المقتضية إستعداد اي تهيؤ لقبول اثرٍما
إما بسهولة و تسمى اللاقوة كالين
إما بصعوبة و تسمى القوة من الخاشيتين بتصرف كالصلابة
الكم= عرض يقبل القسمة لذاته كالاعداد والمقادر
الجوهر= جسم الشيء

ه ١٤٣٢ جوت تروغ جمادللأول ٢٩

تغكو سفريادى

Senin, 25 April 2011

REALITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HARTA WAKAF DALAM MASYARAKAT

OLEH; SAFRIADI,MN

Ajaran Islam memuat dua dimensi jangkauan, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Dalam bidang sosial ekonomi, Islam mendorong pendayagunaan institusi wakaf dalam rangka peningkatan kesejahteraan umat. Muhammad Musthafa Tsalabi telah membuat rumusan wakaf dalam bentuk penahanan harta atas milik orang yang berwakaf dan mendermakan manfaatnya untuk tujuan kebaikan pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
Perwakafan adalah salah satu lembaga keagamaan yang telah berakar lama dalam tradisi masyarakat umat Islam. Di Indonesia perwakafan telah menjadi penunjang utama dalam pembangunan masyarakat, khususnya Umat Islam. Hampir setiap rumah ibadah, sarana pendidikan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun di atas tanah wakaf.
Beberapa rumusan definisi yang dikemukakan oleh ulama lain juga mengacu kepada maksud dan tujuan yang sama dengan rumusan di atas. Sudut dan persepsi penekanan rumusan-rumusan tersebut adalah menyangkut filosofis pensyari’atan wakaf yang bertujuan untuk memberikan alternatif kehidupan sosial lebih baik kepada mauquf ‘alaih (penerima wakaf).
Aplikasi rumusan wakaf yang dapat diamati di tengah masyarakat bahwa pelaksanaannya kurang mengacu kepada asas manfaat sesungguhnya. Pemahaman ‘manfaat’ atas harta wakaf hanya dipahami secara parsial, sebatas manfaat yang melekat dengan harta tersebut. Konsekuensi pemahaman dimaksud mengakibatkan suatu saat harta wakaf menjadi tak berdaya guna, karena terpaku kepada manfaat yang ternyata telah hilang. Dalam realitas di dalam masyarkat, hal pokok yang menjadi permasalahan pengelolaan dan pemamfaatan harta wakaf adalah masih banyaknya wakaf tanah yang tidak dilanjuti dengan pembuatan akta ikrar wakaf. Pelaksanaan wakaf yang terjadi di Indonesia masih banyak yang dilakukan secara agamis atau mendasarkan pada rasa saling percaya. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan tanah yang diwakafkan tidak memiliki dasar hukum, sehingga apabila kemudian hari terjadi permasalahan mengenai kepemilikan tanah wakaf, penyelesaiannya mengalami kesulitan, khususnya tentang hal kepemilikan. Hal lain yang menjadi permasalahan harta wakaf di Indonesia adalah dimintanya kembali tanah wakaf oleh para ahli waris wakif dan tanah wakaf dimiliki secara turun temurun oleh oleh nazdir yang penggunaannya telah menyimpang dari akad wakaf. Fenomena yang ada sampai saat ini masih sering dijumpai di dalam masyarakat aceh adalah banyak status dan kedudukan tanah wakaf telah beralih fungsi, baik itu secara kegunaan dan mamfaat maupun dari segi hak dan kepemilikan. Misalnya tanah wakaf yang awalnya diperuntukkan untuk tanah perkarangan mesjid, dirubah fungsi dan mamfaatnya. Akibat peristiwa itu pihak keluarga wakif menarik kembali sebidang tanah wakaf yang telah diberikan buat kepentingan dan kemaslahatan umum, dan masih banyak kasus serupa yang timbul dalam masyarakat.
Hal ini merupakan gambaran awal dari kekeliruan yang terjadi di masyarakat tentang pemahaman harta wakaf dan terlalu sempitnya ruang lingkup cara pengelolaan harta yang bisa diwakafkan. Beranjak dari hal tersebut, penulis mengharapkan kepada para peneliti untuk dapat mengkaji lebih jauh tentang fenomena wakaf tersebut. Mengingat bahwa harta wakaf merupakan bagian diantara amal jariyah yang terus mengalir fahalanya kepada si wakif, juga disamping itu apabila harta wakaf dapat dikelola dengan baik bisa meningkatkan kemaslahatan bagi masyarakat.


moganya bisa bermanfaat.

Rabu, 20 April 2011

realitas taklik talak di Indonesia

oleh : Safriadi
Pasal 1 huruf e Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan ta’lik talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan dalam suatu keadaan tertentu yang datang. Oleh karena itu dalam buku I KHI tentang perkawinan telah menempatkan ta’lik talak sebagai perjanjian dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk ta’lik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Adapun sighat taklik yang diucapkan suami setelah aqad nikah kepada istri yang dipraktekkan di Indonesia adalah :
Bismillah al-rahman al-rahim

Sesudah akad nikah, saya ....... bin .... berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama ... binti ....dengan baik (mu‘âsyarah bil-ma’rûf) menurut ajaran syari’at Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat ta’lik atas istri saya itu sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya :
1. Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut
2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya
4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya enam bulan lamanya.
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada pengadilan agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan istri saya membayar uang sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sebagai ’iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kemudian pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang ’iwadh itu dan kemudian menyerahkan kepada Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) pusat untuk keperluan ibadah sosial.

Dalam proses pernikahan biasanya mempelai wanita ditanya apakah mohon mempelai laki-laki mengucapkan ta’lik talak atau tidak, demikian halnya dengan mempelai laki-laki. Dan hampir dapat dipastikan keduanya setuju agar ta’lik talak dibacakan dan mempelai laki-laki membacakan sendiri ta’lik talak di hadapan istri.
Menurut penulis, isi dalam sighat tersebut adalah perjanjian perkawinan antara suami dan isteri. Dengan demikian menjadi semakin jelas bahwa ta’lik talak pada prinsipnya sama dengan perjanjian perkawinan. Artinya, ta’lik talak merupakan bagian dari perjanjian perkawinan. Dengan ungkapan lain, perjanjian perkawinan dapat dalam bentuk ta’lik talak dan dapat pula dalam bentuk lain di luar ta’lik talak. Sejalan dengan isi sighat taklik tersebut, maka ta’lik talak dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia pun masuk pada pasal perjanjian perkawinan, yang tercantum pada Bab V, pasal 29 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Demikian juga perjanjian perkawinan dicantumkan dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia (KHI), yang diatur dalam Bab VII: Perjanjian Perkawinan (pasal 45 s/d 52).
Suatu perkawinan menurut hukum positif di Indonesia yang juga diilhami dari hukum Islam pada dasarnya bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hendaknya kita sadar bahwa perkawinan bukan bertujuan hanya untuk sesaat saja. Di dalam sebuah perkawinan terkandung hak dan kewajiban masing-masing, baik itu suami maupun istri. Suami sebagai kepala keluarga mempunyai kewajiban yang tidak ringan, diantara nya ia arus menyayangi istri dan mampu memberikan nafkah lahir maupun batin. Jadi, ikrar ta’lik talak pada dasarnya memberi jaminan atas terpenuhinya kewajiban suami ini. Memang ini untuk melindungi wanita, tapi apakah harus dengan cara demikian.
Dalam hukum Islam dan hukum positif di Indonesia, ta’lik talak bukanlah merupakan kewajiban. Ini ditegaskan dalam Pasal 46 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, "Perjanjian ta’lik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali ta’lik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali." Dari bunyi Pasal tersebut jelas pihak mempelai pria sebenarnya mempunyai hak menolak membaca ta’lik talak. Ta’lik talak dibaca setelah ijab qabul.
Di sini yang harus kita cermati, bahwa setelah ijab qabul selesai dan para saksi menyatakan sah, mulai saat itu juga keduanya telah resmi menjadi suami istri dan kewajiban petugas KUA ialah mencatatnya. Ini berarti semua proses perkawinan sudah selesai dan sah menurut hukum.
Para ahli hukum berbeda dalam membahas mengenai ta’lik talak. Bagi ahli hukum Islam yang membolehkan, perbedaan di antara mereka pun muncul, yang pada dasarnya terletak pada rumusan shigat ta’lik talak yang bersangkutan yang sampai sekarang masih mewarnai perkembangan hukum Islam di Indonesia.
Dalam kaitan ini, Ibnu Hazm berpendapat bahwa dari dua macam bentuk ta’lik talak (Qasamy dan Syarthi) , keduanya tidak mempunyai akibat apa-apa. Alasannya ialah bahwa Allah telah mengatur secara jelas mengenai talak. Sedangkan ta’lik talak tidak ada tuntunannya dalam Alquran maupun sunnah. Hal senada dikemukakan pula oleh Ibnu Taimiyah bahwa Taklik Qasamy yang mengandung maksud, tidak mempunyai akibat jatuhnya talak.
Sementara itu, Jumhur ulama Mazhab berpendapat bahwa bila seseorang telah mentaklikkan talaknya yang dalam wewenangnya dan telah terpenuhi syarat-syaratnya sesuai kehendak mereka masing-masing, maka taklik itu dianggap sah untuk semua bentuk taklik, baik itu mengandung sumpah (qasamy) ataupun mengandung syarat biasa, karena orang yang menta’likkan talak itu tidak menjatuhkan talaknya pada saat orang itu mengucapkannya, akan tetapi talak itu tergantung pada terpenuhinya syarat yang dikandung dalam ucapan taklik itu.
Menurut penulis, pendapat Jumhur inilah nampaknya yang menjadi anutan pada pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Dan pada masa kemerdekaan oleh Menteri Agama merumuskannya sedemikian rupa dengan maksud agar bentuk sighat ta’lik jadi tidak secara bebas diucapkan oleh suami juga bertujuan agar terdapat keseimbangan antara hak talak yang diberikan secara mutlak kepada suami dengan perlindungan terhadap isteri dari perbuatan kesewenangan suami. Bila dicermati rumusan ta’lik talak, nampaknya telah mengalami banyak kemajuan, perubahan mana dimaksud tidak terletak pada unsur-unsur pokoknya, tetapi mengenai kualitasnya yaitu syarat ta’lik yang bersangkutan serta mengenai besarnya iwadh.
Perubahan mengenai kualitas syarat ta’lik di Indonesia, baik sebelum kemerdekaan (1940) maupun pasca kemerdekaan (1947, 1950, 1956 dan 1975) yang ditentukan Departemen Agama semakin menunjukkan kualitas yang lebih sesuai dengan asas syar’iy yakni mempersukar terjadinya perceraian dan sekaligus melindungi isteri dari kesewenangan suami.
Perubahan rumusan tersebut dapat dikemukakan misalnya pada rumusan ayat (3) sighat taklik, pada rumusan tahun 1950 disebutkan “menyakiti isteri dengan memukul”, sehingga semua pengertian dibatasi pada memukul saja, sedangkan sighat rumusan tahun 1956 tidak lagi sebatas memukul, sehingga perbuatan yang dapat dikategorikan menyakiti badan dan jasmani seperti: menendang, mendorong sampai jatuh dan sebagainya dapat dijadikan alasan perceraian, karena terpenuhi syarat taklik dari segi perlindungan pada isteri. Demikian halnya perubahan kualitas kepada yang lebih baik (mempersukar terjadinya perceraian) dapat dilihat pada rumusan ayat (4) sighat taklik tentang membiarkan isteri. Pada rumusan tahun 1950 disebutkan selama 3 bulan, sedang rumusan tahun 1956 menjadi 6 bulan lamanya. Demikian pula tentang pergi meninggalkan isteri dalam ayat (1) sighat taklik, dalam rumusan tahun 1950, 1956 dan 1969 sampai sekarang dirumuskan menjadi 2 tahun berturut-turut.
Oleh karena itu, menurut penulis sighat taklik yang ditetapkan dalam PMA No. 2 Tahun 1990 junto sesuai dengan yang dimaksudkan dalam pasal 46 ayat (2) KHI dianggap telah memadai dan relevan dengan ayat-ayat tersebut. Dengan kata lain, semua bentuk ta’lik talak di luar yang ditetapkan oleh Departemen Agama seharusnya dianggap tidak pernah terjadi.
Pelaksanaan perceraian pelanggaran ta’lik talak di Pengadilan Agama ialah para istri membuat pengaduan ke Pengdilan Agama. Pengaduan istri dapat di benarkan apabila perbuatan suami telah terbukti, hal terebut dapat dibuktikan salah satunya dengan kutipan Akta Nikah dan saksi-saksi, apakah suami pernah mengucapkan ta’lik talak dan apakah ta’lik talak suami benar-benar telah terpenuhi. Akta nikah menjadi bukti yang otentik bagi pembuktian adanya pelanggaran ta’lik talak. Dengan kutipan akta nikah tersebut dapat dibuktikan.
Bahwa penggugat benar-benar istri tergugat atau bukan yang dalam hal ini orang yang dapat dijatuhkan talak karena hanya perempuan yang berstatus istrilah yang dapat dijatuhi talak . Kutipan Akta Nikah juga dapat membuktikan apakah seorang suami mengucapkan ta’lik talak sesaat setelah akad nikah itu terjadi, karena dalam buku nikah yang diterbitkan oleh Departemen Agama terdapat halaman yang memuat keterangan bahwa suami mengucapkan ta’lik talak atau tidak yang dikuatkan dengan tanda tangan pihak suami.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ketika apa yang disyaratkan dalam ta’lik talak itu benar-benar terjadi tidak serta merta talak suami jatuh kepada istri. Talak baru jatuh kepada istri apabila istri tidak ridha dan mengajukan halnya ke Pengadilan Agama dan mendapat putusan dari pengadilan tersebut setelah melalui beberapa proses yang telah ditentukan. Proses yang dimaksud adalah perihal gugatan, pemeriksaan, pembuktian, persidangan dan putusan hakim.
Namun kemudian masalah mengucapkan shigat ta’lik talak selepas akad nikah dipersoalkan oleh Majlis Ulama Indonesia lewat keputusan MUI pada tanggal 23 Rabiul Akhir 1417 H., bertepatan dengan 7 September 1996, mengucapkan sighat ta’lik talak tidak diperlukan lagi. Adapun alasan keputusan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Bahwa materi sighat ta’lik talak pada dasarnya telah dipenuhi dan tercantum dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), perjajian ta’lik talak bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan (KHI pasal 46 ayat 3).
3. Bahwa konteks mengucapkan sighat ta’lik talak menurut sejarahnya adalah untuk melindungi hak-hak wanita, dimana waktu itu ta’lik talak belum ada dalam peraturan perundang-undangan perkawinan.
Oleh karena itu, setelah adanya aturan tentang itu dalam peraturan perundang-undangan perkawinan, maka mengucapkan sighatnya tidak diperlukan lagi.

Minggu, 17 April 2011

MEDIASI DAN PERMASALAHANNYA

MEDIASI DAN PELAKSANAANYA
oleh: SAFRIADI
A. Pengertian dan Jenis Mediasi

1. Pengertian Mediasi
Setiap perkara perdata dilatar belakangi oleh ketidakpuasan seseorang atau beberapa orang (pihak penggugat) terhadap seseorang atau beberapa orang lain (pihak tergugat), yang menurut pihak penggugat ada hak-haknya yang telah dilanggar oleh pihak tergugat, atau ada kewajiban tergugat kepada penggugat yang tidak dilaksanakan oleh tergugat.
Penggugat karena telah berkali-kali meminta haknya kepada tergugat, tidak juga berhasil kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan atau Mahkamah Syar’iyah, dengan harapan Hakim dapat mengembalikan hak penggugat atau menghukum tergugat memenuhi kewajibannya.
Kemudian Hakim dibebani kewajiban untuk dapat mendamaikan para pihak melalui jalur mediasi, dan boleh jadi para pihak menunjuk mediator yang bukan Hakim atau orang lain di luar Pengadilan. Para pakar mendevinisikan mediasi ini dengan penyelesaian sengketa melalui proses perundingan antara para pihak yang bersengketa dengan dibantu oleh mediator.
Tentang Mediasi dalam Islam dikenal dengan istilah Hakam, hal ini telah disebutkan dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 35:
وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما إن الله كان عليما خبيرا (سورة النساء:٣٥ )
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. Annisa’ Ayat:35)

Para ulama dalam menafsirkan ayat ini, meskipun ayat tersebut memberikan petunjuk dalam bentuk perintah, namun para ahli hukum Islam berbeda pendapat mengenai eksistensi hakam dalam menyelesaikan masalah perceraian. Ulama dari mazhab Syafi'iyah mengharuskan adanya hakam dalam perceraian yang muncul akibat syiqoq. Hal ini juga ditegaskan oleh Jalaluddin Sayuti dalam tafsirnya Sawi ‘Ala Jalalain, yaitu:
وأعلم أن كون الحكمين من ألاهلين عند وجودهما مندوب عند الشافعي وواجب عند مالك سسسسسسسس س Artinya: Keberadaan Adanya dua orang hakam itu disunnahkan disisi Syafi’i

...............dan diwajibkan disisi Malik

Menurut Komar Kantaatmadja, secara garis besar penyelesaian perkara dapat digolongkan dalam tiga golongan:
a. Penyelesaian perkara dengan menggunakan negosiasi yang bersifat langsung, maupun dengan pernyataan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi)
b. Penyelesaian sengketa dengan cara letigasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
c. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbritase, baik yang bersifat ad hoc maupun yang terlembaga.
Menurut Syahrizal Abbas, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya, menengahi, dan menyelesaikan sengketa antara para pihak ”berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu perselisihan sebagai penasihat. Sedangkan mediator adalah hakim atau pihak lain yang berwenang melakukan mediasi pada Mahkamah Syar’iyah.
2. Jenis Mediasi Mediasi ada 2 jenis: yaitu di dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Mediasi dari dalam pengadilan, ditangani oleh hakim pengadilan tersebut yang tidak menangani perkaranya. sedangkan mediasi di luar pengadilan, ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen. Terakhir masalah mediasi diatur oleh PERMA No. 1 Tahun 2008, yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata. Kalau tidak dilakukan proses mediasi, putusanya batal demi hukum. Jadi penyelesaian sengketa dengan proses mediasi adalah penyelesaian perkara yang dilakukan oleh pihak ketiga (mediator), tanpa melalui persidangan. Pihak ketiga dalam hal ini tidak memutuskan perkaranya. Mediator hanya berusaha mengadakan pendekatan kepada para pihak untuk meminimalkan perbedaan pendapat dalam kasus yang dihadapi untuk mencapai suatu kesepakatan diantara mereka menuju pada pemecahan yang saling menguntungkan (win win solution). Mediator hanya berperan untuk membantu para pihak mencapai penyelesaian sengketa. Untuk itu mediator dapat secara langsung dan rahasia berkomunikasi dengan para pihak dan bekerja bersama sama untuk mencapai suatu kesepakatan. Tujuan mediasi pada dasarnya agar orang yang bersengketa (yang mengajukan perkara ke Mahkamah Syar’iyah) bisa berdamai dengan hasil sama sama senang. Jadi inti dan motivasi dari mediasi adalah hasil akhir dari suatu sengketa menuju kepada sepakat untuk damai dengan tidak melanjutkan perkaranya di Mahkamah Syar’iyah. Namun untuk menuju ke arah tersebut sangat sulit dicapai oleh para pihak yang berperkara, maka perlu ada pihak ketiga yang netral (dan dihormati) membantu menyelesaikan sengketa tersebut di luar lembaga Mahkamah Syar’iyah, yaitu mediator. Terkait dengan hal tersebut, PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Pasal 2 ayat (2) yang mewajibkan setiap hakim, agar mendamaikan pihak yang berperkara sebelum melanjutkan proses persidangan, harus melalui tahap mediasi dulu, apabila tidak menempuh prosedur mediasi maka menurut PERMA ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 R.Bg, yang berakibat putusan batal demi hukum.

B....Dasar Hukum Mediasi .........Istilah mediasi Mahkamah Syar’iyah hanyalah semata-semata sebuah peristilahan untuk menerangkan proses mediasi yang perkaranya merupakan limpahan dari Mahkamah Syar’iyah. Di barat, untuk perkara seperti ini lebih dikenal dengan istilah court mandated mediation (CMM). Istilah ini dipakai karena belum ada istilah khusus untuk itu. Di Indonesia istilah yang biasa dikenal adalah mediasi. Meskipun pada prinsipnya sama dengan mediasi lainnya, untuk keperluan pemaparan, penulis penulis merasa perlu untuk menjelaskan dasar hukum dari diberlakukannya mediasi di Peradilan khususnya Mahkamah Syar’iyah, agar lebih jelas pelaksanaan mediasi ini di Mahkamah Syar’iyah.
Dasar hukum mediasi adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa berlaku 12 Agustus 1999.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1/2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 RBg.
3. PERMA No. 01 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan.
4. Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003
Berdasarkan realitas, pelaksanaan mediasi di Indonesia dilakukan oleh lembaga peradilan, khususnya Pengadilan Agama dan non peradilan, seperti lembaga-lembaga mediasi, instansi pemerintah, advokat dan lain-lainnya. Atas dasar pelaku mediasi, maka mediasi di Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu mediasi yang dilaksanakan di dalam peradilan atau yang dikenal dengan court mandated mediation dan mediasi di luar peradilan. Mediasi yang dilaksanakan di pengadilan hingga saat ini memiliki sejarah landasan yuridis, yaitu Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003. Hal ini berbeda dengan mediasi yang dilaksanakan di luar pengadilan yang aturannya kurang jelas sebagaimana yang dimuat dalam Undang-undang No. 30 tahun 1999. Untuk memahami landasan yuridis pelaksanaan upaya damai (mediasi) di Indonesia, maka penjelasannya didasarkan pada dua kategori diatas. yaitu sebagai berikut:
1. Beberapa aturan upaya damai (Mediasi) di dalam lembaga peradilan.
Dalam tinjauan sejarah peradilan di Indonesia, penyelesaian sengketa melalui upaya damai telah diatur dalam pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg. dan beberapa peraturan lainnya. Namun upaya damai yang dimaksud dalam peraturan diatas berbeda dengan mediasi sebagaimana yang berkembang sekarang. Berikut ini beberapa aturan hukum tentang upaya mediasi di Indonesia:
a.—HIR-pasal-130-(Pasal-154-RBg.-Dan-Pasal-31-Rv)
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda melalui Reglement op de burgerlijke Rechtvordering atau disingkat Rv. Pada tahun 1894 penyelesaian perkara dengan cara damai sudah diperkenalkan. Bunyi pasal diatas sebagai berikut :
[1] jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka,
[2] Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akte) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak di hukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.
[3] Keputusan yang sedemikian itu tidak dapat diijinkan disbanding.
[4] Jika pada waktu mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak, perlu dipakai seorang juru bahasa, maka peraturan pasal yang berikut dituruti untuk itu.
b. UU No. 1 tahun 1974 Pasal 39, UU No. 7 tahun 1989 Pasal 65, KHI Pasal 115, 131 (2), 143 (1-2), 144, dan PP No. 9 tahun 1975 Pasal 32
Undang-undang, peraturan Pemerintah, dan KHI sebagaimana diatas menyebutkan bahwa hakim harus mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum putusan dijatuhkan. Usaha untuk mendamaikan pihak yang bersengketa ini dilakukan pada setiap pemeriksaan. Agar upaya damai dapat terwujud, maka hakim wajib pula menghadirkan keluarga atau orang-orang terdekat dari pihak yang berperkara untuk di dengar keterangannya, sekaligus hakim meminta bantuan kepada keluarga agar mereka dapat berdamai.
c. SEMA No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 merupakan tindak lanjut hasil Rapat Kerja Nasional I Mahkamah Agung yang dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 24 sampai 27 September 2001. Surat edaran ini menekankan kembali pemberdayaan pengadilan tingkat pertama dalam menerapkan upaya damai sebagaimana ditentuan dalam pasal 130 HIR/pasal 154 RBg dan pasal-pasal lainnya dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia, khususnya pasal 132 HIR/pasal 154 RBg. Hasil Rakernas ini pada dasarnya merupakan penjabaran rekomendasi Sidang Tahunan MPR tahun 2000, agar Mahkamah Agung mengatasi tunggakan perkara. Isi SEMA No. 1 tahun 2002 ini mencakup:
1. Upaya perdamaian hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh dan optimal, tidak sekedar formalitas.
2. Melibatkan hakim yang ditunjuk dan dapat bertindak sebagai fasilitator dan atau mediator, tetapi bukan hakim majlis (namun hasil rakernas membolehkan dari hakim majlis dengan alasan kurangnya tenaga hakim di daerah dan karena lebih mengetahui permasalahan).
3. Untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator maupun mediator kepada hakim yang bersangkutan diberikan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, dan waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 6 tahun 1992.
4. Persetujuan perdamaian dibuat dalam bentuk akte perdamaian, dan para pihak dihukum untuk mentaati apa yang telah disepakati.
5. Apabila mediasi gagal, hakim yang bersangkutan harus melaporkan kepada ketua pengadilan/ketua majlis dan pemeriksaan perkara dilanjutkan oleh majlis hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak untuk berdamai selama proses pemeriksaan berlangsung.
6 Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat dijadikan bahan penilaian (reward) bagi hakim yang menjadi fasilitator / mediator.
d.-PERMA-No.2-tahun-2003
SEMA No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dipandang belum sempurna. Upaya damai atau penyelesaian sengketa melalui mediasi seharusnya diatur melalui peraturan perundang-undangan. Undang-undang yang telah ada hanya menyinggung mediasi sebagai salah satu alternative dispute resolution (ADR), yaitu UU No. 30 tahun 1999. Undang-undang ini lebih tepat dikatakan undang-undang tentang arbitrase, bukan tentang ADR, karena ketentuan ADR hanya dimuat dua pasal saja, yaitu pasal 1 butir 10 dan pasal 6 yang terdiri atas 9 ayat. Memperhatikan realitas seperti ini dan sambil menunggu adanya peraturan Perundang-undangan yang baru, Mahkamah Agung perlu menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 tahun 2003. Perma ini mengatur tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang meliputi pra mediasi, proses mediasi, tempat dan biaya mediasi. Sebanyak 18 pasal dalam PERMA ini semuanya mengatur mediasi dalam proses berperkara di pengadilan, dan tidak menyinggung mediasi di luar pengadilan, karena memang dimaksudkan untuk penerapan mediasi dalam peradilan.
2.-Mediasi-Non-Peradilan
Pada dasarnya keberadaan cara penyelesaian sengketa setua keberadaan manusia itu sendiri. Dalam proses ini manusia menyelesaikan masalahnya dengan cara yang sederhana. Salah satu cara yang ditempuhnya adalah penyelesaian sengketa dengan cara damai. Disamping ini, pada perkembangan berikutnya dikenal adanya lembaga peradilan yang memiliki tugas menyelesaikan perkara secara litigatif. Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh masyarakat tempo dulu, pada hakekatnya adalah praktek mediasi dalam pengertian yang sederhana, dimana diantara para pihak yang bersengketa terdapat pihak ketiga yang menjadi mediator. Mediator pada waktu dulu adalah sesepuh desa, tokoh masyarakat atau orang yang terpandang yang memiliki sifat adil dan bijaksana.
Secara formal, landasan yuridis mediasi non peradilan hanya didasarkan pada Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Lembaga arbitrase dalam undang-undang ini, dibahas secara lengkap dan sempurna dalam 80 pasal, sedangkan alternatif penyelesaian sengketa hanya disebut dalam 2 pasal, yaitu pasal Pasal 1 butir 10 dan pasa 6 yang terdiri atas 9 ayat. Pasal 1 butir 10 menyatakan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi,-atau-penilaian-ahli. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesian sengketa. Meskipun ia disebut secara jelas, namun pengertian mediasi dan lembaga APS lainnya tidak dijelaskan, karena menurut penjelasan undang-undang tersebut sudah dianggap jelas. UU No. 30 tahun 1999 ini lebih banyak mengatur arbitrase. Di Indonesia arbitrase bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang dianggap merupakan sumber pokok pelaksanaan arbitrase sebelum berlakunya UU No. 30 tahun 1999 adalah ketentuan yang diatur dalam pasal 337 Reglement Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941; 44) atau pasal 705 reglement acara untuk daerah luar Jawa dan Madura (Rechsreglement Buingewesten, Staatsblad 1927;227). Dengan demikian maka sejak UU No. 30 tahun 1999 diundangkan, maka ketentuan sebelumnya-dipandang-tidak-sah.
Berbeda dengan arbitrase, mediasi sebagaimana dimaksud dalam UU No. 30 tahun 1999 yang bersifat mediasi non peradilan belum ada ketentuan sebelumnya. Kehadiran lembaga-lembaga mediasi justru lahir menjelang dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 11 September 2003. Lembaga atau pusat mediasi yang lahir menjelang diterbitkannya Perma adalah The Indonesian Mediation Center (Pusat Mediasi Nasional). Lembaga ini berdiri pada 4 September 2003 yang peresmiannya dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan. Jika memperhatikan beberapa ketentuan mediasi non peradilan sebagaimana tercantum dalam UU No. 30 tahun 1999 maka prosedur mediasi ini berbeda dengan prosedur mediasi yang dilakukan oleh peradilan berdasarkan Perma No. 2 tahun 2003. Dalam bab II pasal 6 ayat 1 sampai 9 UU tersebut mengatur tentang prosedur penyelesaian sengketa oleh lembaga-lembaga APS sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 ayat 10 yang meliputi konsultasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Pasal 6 ayat 1 menerangkan bahwa Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Ayat ini memberikan penegasan bahwa tujuan APS adalah penyelesaian melalui jalur non litigasi. Jalur ini bisa ditempuh jika para pihak yang bersengketa memiliki iktikad baik untuk melakukan perdamaian. Penyelesaian melalui jalur litigasi meskipun menggunakan asas cepat dan biaya ringan, namun kenyataannya dalam penyelesaiannya membutuhkan waktu lama dan biaya banyak. Salah satu faktornya karena banyaknya perkara yang masuk di pengadilan. Disamping itu jika perkara telah didaftarkan ke pengadilan maka iktikad berkurang jika dibandingkan melalui penyelesaian non litigasi.
Ayat 2 menjelaskan bahwa Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Ayat ini menjelaskan bahwa perselisihan atau sengketa dapat diselesaikan oleh masing-masing pihak tanpa adanya keterlibatan pihak ketiga. Penyelesaian jenis ini disebut negosiasi. Dalam negosiasi para pihak sendirilah yang akan melakukan kompromi-kompromi atas masalah yang dihadapinya. Selanjutnya ayat 3 berbunyi. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Jika dalam negoisasi para pihak mangalami kegagalan, maka mereka dapat melanjutkan penyelesaian sengketanya dengan melibatkan pihak ketiga, yang disebut penasehat ahli atau mediator. Keterlibatan pihak ketiga tentulah orang yang disepakati oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Ia harus orang yang adil, tidak memihak (netral) dan memiliki skill dalam mediasi.
Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi ini diberi batas waktu paling lama 14 hari sebagaimana tertuang dalam pasal 6 ayat 4 : Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
Namun jika mengalami kegagalan dalam mediasi, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara arbitrase. Memperhatikan ayat 4 tersebut, maka arbitrase dipandang sebagai solusi setelah negosiasi dan mediasi mengalami kegagalan. Meskipun ayat ini menyebut pranata APS lain selain arbitrase, namun tidak ada pranata lain yang dipandang efektif dibanding arbitrase. Ketentuan ini diatur dalam ayat 5 sampai 9. Berdasarkan pasal-pasal diatas maka arbitrase dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari dan jika masih mengalami kegagalan maka dapat mengajukan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase ad-hoc. Pemilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ad-hoc ini meruapakan pilihan terakhir. Dengan cara ini maka sengketa diharapkan bisa selesai melalui arbiter.

sekitar hukum nikah muhallil

oleh :Safriadi Muhammad Nurdin Murrah

Dalam masyarakat sudah menjadi tradisi dan bahkan adat oleh praktek Nikah Muhalllil yang dalam bahasa Aceh disebut peucina buta. Dalam anggapan masyarakat peucina buta adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan untuk membolehkan istri seseorang yang telah ditalak tiga (Bain Kubra) untuk nikah lagi dengan istri yang pertama.
Tentang hal ini, Allah menyatakan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah Ayat 230 yang bunyinya:
فان طلقها فلا تحل له من بعد حتي تنكح زوجا غيره فان طلقها فلا جنح عليهما ان يترجعا ان ظنا ان يقيما حدودالله و تلك حدودالله يبينها لقوم يعلمون
Penulis dalam tulisan ini ingin menguraikan hokum-hukum yang terkandung dalam ayat yang tersebut diatas dengan menukil tafsir-tafsir yang mu’tabar dari ayat diatas dan menukil isi-isi dari kitab kuning yang membahas tentang nikah muhallil. Dan penulis tidak mengambil kesimpulan dari bagaimana hokum dari nikah muhallil tersebut……
1. Tersebut dalam kitab tafsir bughawi tentang penafsiran ayat diatas, yaitu:
وقال مجاهد: معناه إن علما أن نكاحهما على غير الدُّلْسَة، وأراد بالدلسة التحليل، وهو مذهب سفيان الثوري والأوزاعي ومالك وأحمد وإسحاق، قالوا: إذا تزوجت المطلقة ثلاثا زوجا آخر ليحللها للزوج الأول: فإن النكاح فاسد، وذهب جماعة إلى أنه إن لم يشرط في النكاح
2. أخبرنا أبو الفرج المظفر بن إسماعيل التميمي أخبرنا أبو القاسم حمزة بن يوسف السهمي أنا أبو أحمد عبد الله بن عدي الحافظ أنا الحسن بن الفرج أخبرنا عمرو بن خالد الحراني عن عبيد الله بن عبد الكريم هو الجزري عن أبي واصل عن ابن مسعود رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه: "لعن المحلل والمحلل له" (1) وقال نافع أتى رجل ابن عمر فقال له: إن رجلا طلق امرأته ثلاثا، فانطلق أخ له من غير مؤامرة فتزوجها ليحلها للأول فقال: لا إلا نكاح رغبة، كنا نعد هذا سفاحا على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم، "لعن الله المحلل والمحلل له"
Tafsir bughawi hal 272-273

المؤلف : محيي السنة ، أبو محمد الحسين بن مسعود البغوي [ المتوفى 516 هـ ]
المحقق : حققه وخرج أحاديثه محمد عبد الله النمر - عثمان جمعة ضميرية - سليمان مسلم الحرش
الناشر : دار طيبة للنشر والتوزيع
الطبعة : الرابعة ، 1417 هـ - 1997 م
عدد الأجزاء : 8
مصدر الكتاب : موقع مجمع الملك فهد لطباعة المصحف الشريف
[ ترقيم الكتاب موافق للمطبوع ، والصفحات مذيلة بحواشي المحققين ]

2. dalam kitab tafsir Bahrul Muhit disebutkan:
وفي قوله : { حتى تنكح زوجاً غيره } دلالة على أن نكاح المحلل جائز ، إذ لم يعني الحل إلاّ بنكاح زوج ، وهذا يصدق عليه أنه نكاح زوج فهو جائز . وإلى هذا ذهب ابن أبي ليلى ، وأبو حنيفة ، وأبو يوسف ، ومحمد ، وداود ، وهو قول الأوزاعي في رواية ، والثوري في رواية . وقول الشافعي في كتابه ( الجديد المصري ) إذا لم يشترط التحليل في حين العقد ، وقال القاسم ، وسالم ، وربيعة ، ويحيى بن سعد : لا بأس أن يتزوجها ليحللها إذا لم يعلم الزوجان ، وهو مأجور ، وقال مالك : والثوري ، والأوزاعي ، والشافعي في القديم ، وأبو حنيفة في رواية : لا يجوز ، ولا تحل للأول ، ولا يقر عليه وسواء علماً أم لم يعلما . وعن الثوري أنه لو شرط بطل الشرط ، وجاز النكاح ، وهو قول ابن أبي ليلى في ذلك وفي نكاح المتعة . وقال الحسن ، وابراهيم : إذا علم أحد الثلاثة بالتحليل فسد النكاح .(hal 407)
Tafsir bahrul muhit
المؤلف : أبو حيان محمد بن يوسف بن علي بن يوسف بن حيّان
مصدر الكتاب : موقع التفاسير

3. tersebut dalam tafsir khazen, yaitu:
واختلف العلماء في اشتراط الوطء هل ثبت بالكتاب أو بالسنة؟ على ثلاثة أقوال : الثالث وهو المختار أنه ثبت بهما ( الثاني ) إذا تزوج بالمطلقة ثلاثة ليحلها للأول فهذا نكاح باطل وعقد فاسد وبه قال : مالك وأحمد لما روي عن ابن مسعود عن النبي ??? ???? ???? ???? : « أنه لعن المحلل والمحلل له » أخرجه الترمذي وقال حديث حسن صحيح وروي أنه قال هو التيس المستعار ولو تزوجها ولم يشترط في النكاح أنه يفارقها فالنكاح صحيح ويحصل به التحليل إذا طلقها وانقضت العدة غير أنه يكره إذا كان في عزمها ذلك ، وبه قال الشافعي وأبو حنيفة ، ودليل ذلك أن الآية دلت على أن الحرمة تنتهي بوطء مسبوق بعقد وقد وجد ذلك فوجب القول بانتهاء الحرمة ، وقال نافع : « أتى رجل إلى ابن عمر فقال : إن رجلاً طلق امرأته ثلاثاً فانطلق أخ له من غير مؤامرة فتزوجها ليحلها للأول فقال : لا إلاّ نكاح رغبة ، كنا نعد هذا سفاحاً على عهد رسول الله ??? ???? ???? ???? » وقوله تعالى : { وتلك حدود الله يبينها لقوم يعلمون } يعني يعلمون ما أمرهم به ونهاهم عنه ، وإنما خص العلماء لأنهم هم الذين ينتفعون بذلك البيان .
Tafsir khazen hal 236
المؤلف : الخازن ، أبو الحسن علي بن محمد بن إبراهيم بن عمر الشيحي
مصدر الكتاب : موقع التفاسير

4 Tersebut dalam Syarkawi ‘ala tahrir karangan Zakaria Al-Ansari,hal:245, yaitu:
انكحة المكروهة كنكاح المحلل بان يتزوجها على ان يحللها لزوجها الاول بعد طلاقها بشرطه بان تخلو عن بقيت الموانع كالعدة هذا ان عزم ولم يشرطه

masalah zakat fitrah dalam bingkai mazhab yang empat

oleh: Safriadi




مسألة زكاة الفطر بين المذاهب
مؤألف تعكو سفر ياد ى


صدقة الفطر واجبة على كل حر مسلم قادر أمرنا بها النبي صلى الله عليه و سلم في السنة التي فرض فيها رمضان قبل الزكاة وقد كان صلى الله عليه و سلم يخطب قبل يوم الفطر ويأمر بإخراجها فقد أخرج عبد الرزاق بسند صحيح عن عبد بن ثعلبة قال : خطب رسول الله صلى الله عليه و سلم قبل يوم الفطر بيوم أو يومين فقال : " أدوا صاعا من بر أو قمح أو صاعا من تمر أو شعير عن كل حر أو عبد صغير أو كبير "

وفي بيان حكمها ومقاديرها تفصيل المذاهب فانظره تحت الخط:
1. الحنفية قالوا : حكم صدقة الفطر الوجوب بالشرائط الآتية فليست فرضا ويشترط لوجوبها أمور ثلاثة : الإسلام والحرية وملك النصاب الفاضل عن حاجته الأصلية ولا يشترط نماء النصاب ولا بقاؤه فلو ملك نصابا بعد وجوبها ثم هلك قبل أدائها لا تسقط عنه بخلاف الزكاة فإنه يشترط فيها ذلك كما تقدم وكذا لا يشترط فيها العقل ولا البلوغ فتجب في مال الصبي والمجنون حتى إذا لم يخرجها وليهما كان آثما ويجب عليهما دفعها للفقراء بعد البلوغ والإفاقة ووقت وجوبها من طلوع فجر عيد الفطر ويصح أداؤها مقدما ومؤخرا لأن وقت أدائها العمر فلو أخرجها في أي وقت شاء كان مؤديا لا قاضيا كما في سائر الواجبات الموسعة إلا أنها تستحب قبل الخروج إلى المصلى لقوله صلى الله عليه و سلم : " أغنوهم عن السؤال في هذا اليوم " ويجب أن يخرجها عن نفسه وولده الصغير الفقير وخادمه وولده الكبير إذا كان مجنونا أما إذا كان عاقلا فلا يجب على أبيه وإن كان الولد فقيرا إلا أن يتبرع ولا يجب على الرجل أن يخرج زكاة زوجته فإن تبرع بها أجزأت ولو بغير إذنها وتخرج من أربعة أشياء : الحنطة والشعير والتمر والزبيب فيجب من الحنطة نصف صاع عن الفرد الواحد والصاع أربعة أمداد . والمدر رطلان والرطل مائة وثلاثون درهما ويقدر الصاع بالكيل المصري بقدحين وثلث . فالواجب من القمح وسدس مصري عن كل فرد والكيلة المصرية تكفي سبعة أفراد إذا زيد عليها سدس قدح ويجب من التمر والشعير والزبيب صاع كامل فالكيلة المصرية منها تجزئ عن ثلاثة ويبقى منها قدح مصري ويجوز له أن يخرج قيمة الزكاة الواجبة من النقود بل هذا أفضل لأنه أكثر نفعا للفقراء ويجوز دفع زكاة جماعة إلى مسكين واحد كما يجوز دفع زكاة الفرد إلى مساكين ومصرف زكاة الفطر هو مصرف الزكاة العامة الذي ورد في آية : { إنما الصدقات للفقراء } الآية

2. الحنابلة قالوا : زكاة الفطر واجبة بغروب شمس ليلة عيد الفطر على كل مسلم يجد ما يفضل عن قوته وقوت عياله يوم العيد وليلته بعد ما يحتاجه من مسكن وخادم ودابة وثياب بذلته وكتب علم وتلزمه عن نفسه وعمن تلزمه مؤنته من المسلمين فإن لم يجد ما يخرجه لجميعهم بدأ بنفسه فزوجته فرفيقه فأمه فأبيه فولده فالأقرب فالأقرب باعتبار ترتيب الميراث وسن إخراجها عن الجنين والأفضل إخراجها في يوم العيد قبل الصلاة ويكره إخراجها بعدها ويحرم تأخيرها عن يوم العيد إذا كان قادرا على الإخراج فيه ويجب قضاؤها وتجزئ قبل العيد بيومين ولا تجزئ قبلهما ومن وجب عليه زكاة فطره أخرجها في المكان الذي أفطر فيه آخر يوم من رمضان وكذا يخرج من وجب عليه زكاة فطره أخرجها في المكان الذي أفطر فيه آخر يوم من رمضان وكذا يخرج من وجبت عليه فطرته في هذا المكان والذي يجب على كل شخص : صاع من بر أو شعير أو تمر أو زبيب أو أقط وهو طعام يعمل من اللبن المخيض ويجزئ الدقيق إن كان يساوي الحب في الوزن فإن لم يوجد أحد هذه الأشياء أخرج ما يقوم مقامه من كل ما يصلح قوتا من ذرة أو أرز أو عدس أو نح ذلك ويجوز أن يعطي الجماعة فطرتهم لواحد كما لا يجوز للشخص شراء زكاته ولو من غير من أخذها منه ومصرفها مصرف الزكاة المفروضة

3. الشافعية قالوا : زكاة الفطر واجبة على كل حر مسلم ويجب على الكافر إخراج زكاة خادمه وقريبه المسلمين إذا كان قادرا على قوته وقوت عياله يوم العيد وليلته بعدما يحتاج إليه من كل ما جرت به العادة من حو سمك وغيره من الطعام الذي يصنع للعيد . ومن الثياب اللائقة به وبمن يمونه . ومن مسكن وخادم يحتاج إليهما يليقان به ومن آنية وكتب يحتاجهما ولو تعددت من نوع واحد ومن دابة أو غيرها مما يحتاجه لركوبه وركوب من يمونه مما يليق بهما وتجب ولو كان المزكي مدينا ويجب أن يخرجها عنه وعمن تلزمه نفقته وقت وجوبها وهم أربعة أصناف : الأول : الزوجة غير الناشز ولو موسرة أو مطلقة رجعيا أو بائنا حاملا إذا لم تكن لها نفقة مقدرة وإلا فلا تجب . ومثل المرأة العبد والخادم . الثاني : أصله وإن علا . الثالث : فرعه وإن سفل : ذكرا أو أنثى صغيرا أو كبيرا والأصل والفرع لا تجب الزكاة عنهما إلا إذا كانوا فقراء أو مساكين ولو بسبب الاشتغال بطلب العلم . ويشترط في الفرع الكبير الذي لم يكن مشتغلا بطلب العلم أن يكون غير قادر على الكسب الرابع : المملوك وإن كان آبقا أو مأسورا ووقت وجوبها آخر جزء من رمضان وأول جزء من شوال ويسن إخراجها أول يوم من أيام عيد الفطر بعد صلاة الفجر وقيل صلاة العيد ويكره إخراجها بعد صلاة العيد إلى الغروب إلا لعذر كانتظار فقير قريب ونحوه ويحرم إخراجها بعد غروب اليوم الأول إلا لعذر كغياب المستحقين لها وليس من العذر في هذه الحالة انتظار نحو قريب ويجوز إخراجهما من أول شهر رمضان في أول يوم شاء ويجب إخراجها في البلد التي غربت عليه فيها شمس آخر أيام رمضان ما لم يكن قد أخرجها في رمضان قبل ذلك في بلده والقدر الواجب عن كل فرد صاع - وهو قد حان بالكيل المصري - من غالب قوت المخرج عنه وأفضل الأقوات : البر فالسلت - الشعير النبوي - فالذرة فالأرز فالحمص فالعدس فالفول فالتمر فالزبيب فالأقط فاللبن فالجبن ويجزئ الأعلى من هذه الأقوات وإن لم يكن غالبا عن الأدنى وإن كان هو الغالب بدون عكس ولا يجزئ نصف من هذا ونصف من ذاك وإن كان غالب القوت مخلوطا ولا تجزئ القيمة ومن لزمه زكاة جماعة ولم يجد ما يفي بها بدأ بنفسه فزوجته فخادمها فولده الصغير فأبيه فأمه فابنه الكبير فرفيقه
فإن استوى جماعة في درجة واحدة كالأولاد الصغار اختار منهم من شاء وزكى عنه

4. المالكية قالوا : زكاة الفطر واجبة على كل حر مسلم قادر عليها في وقت وجوبها سواء كانت موجودة عنده أو يمكنه اقتراضها فالقادر على التسلف يعد قادرا إذا كان يرجو الوفاء ويشترط أن تكون زائدة عن قوته وقوت جميع من تلزمه نفقته في يوم العيد فإذا احتاج إليها في النفقة فلا تجب عليه ويجب أن يخرجها الشخص عن نفسه وعن كل من تلزمه نفقته من الأقارب وهم الوالدان الفقيران . والأولاد الذكور الذين لا مال لهم إلى أن يبلغوا قادرين على الكسب والإناث الفقراء أيضا إلى أن يدخل الزوج بهن أو يدعى للدخول بشرط أن يكن مطيقات للوطء والمماليك ذكورا وإناثا والزوجة والزوجات . وإن كن ذات مال . وكذا زوجة والده الفقير وقدرها صاع عن كل شخص . وهو قدح وثلث بالكيل المصري فتجزئ الكيلة عن ستة أشخاص ويجب إخراج الصاع للقادر عليه فإن قدر على بعضه أخرجه فقط ويجب إخراجها من غالب قوت البلد من الأصناف التسعة الآتية وهي : القمح والشعير والسلت والذرة والدخن والأرز والتمر والزبيب . والأقط - لبن يابس أخرج زبده - فإن اقتات أهل البلد صنفين منها ولم يغلب أحدهما خير المزكي في الإخراج من أيهما ولا يصح إخراجها من غير الغالب إلا إذا كان أفضل كأن اقتاتوا شعيرا فأخرج برا فيجزئ وما عدا هذه الأصناف التسعة . كالفول والعدس لا يجزئ الإخراج منه إلا إذا اقتاته الناس وتركوا الأصناف التسعة فيتعين الإخراج من المقتات فإن كان فيه غالب وغير غالب أخرج من الغالب وإن استوى صنفان في الاقتيات : كالفول والعدس خير في الإخراج من أيهما وإذا أخرجها من اللحم اعتبر الشبع مثلا إذا كان الصاع من القمح يشبع اثنين لو خبز فيجب أن يخرج من اللحم ما يشبع اثنين وشرط في صرف الزكاة لواحد من الأصناف المذكورة في الآية أن يكون فقيرا أو مسكينا حرا مسلما ليس من بني هاشم فإذا وجد ابن سبيل ليس فقيرا ولا مسكينا . الخ لا تصرف له الزكاة وهكذا ويجوز إعطاء كل فقير أو مسكين صاعا أو أقل أو أكثر والأولى أن يعطى لكل واحد صاعا وهنا أمور تتعلق بذلك وهي : أولا إذا كان الطعام الذي يريد الإخراج منه غير نظيف - به غلت - وجبت تنقيته إذا كان الغلت ثلثا فأكثر وإلا ندبت الغربلة ثانيا : يندب إخراجها بعد فجر يوم العيد وقبل الذهاب لصلاة العيد ويجوز إخراجها قبل يوم العيد بيوم أو يومين ولا يجوز أكثر من يومين على المعتمد ثالثا : إذا وجبت زكاة عن عدة أشخاص وكان من وجبت عليه زكاتهم غير قادر على إخراجها عنهم جميعا ويمكنه أن يخرجها عن بعضهم بدأ بنفسه ثم بزوجته ثم ولديه ثم ولده رابعا : يحرم تأخير زكاة الفطر عن يوم العيد ولا تسقط بمضي ذلك اليوم بل تبقى في ذمته فيطالب بإخراجها عن نفسه وعن كل من تلزمه نفقته إن كان ميسورا ليلة العيد خامسا : من كان عاجزا عنها وقت وجوبها ثم قدر عليها في يوم العيد لا يجب عليها إخراجها ولكنه يندب فقط . سادسا : من وجبت عليه زكاة الفطر وهو مسافر ندب له إخراجها عن نفسه ولا يجب إذا كانت عادة أهله الإخراج عنه أو أوصاهم به فإن لم تجر عادة أهله بذلك أو لم يوصهم وجب عليه إخراجها عن نفسه سابعا : من اقتات صنفا أقل مما يقتاته أهل البلد : كالشعير بالنسبة للقمح جاز له الإخراج منه عن نفسه وعمن تلزمه نفقته إذا اقتاته لفقره فإن اقتاته لشح أو غيره فلا يجزئه الإخراج منه ثامنا : يجوز إخراج زكاة الفطر من الدقيق أو السويق بالكيل وهو قدح وثلث كما تقدم ومن الخبز بالوزن . وقدر برطلين بالرطل المصري )